TEOLOGI KRUSIA DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Agama Islam dibawa masuk oleh pedagang-pedagang Arabia dan Persia, sedangkan Katolisisme oleh orang-orang Portugis. Sampai sekitar 1970, ada anggapan di kalangan  para ahli bahwa Islam makin mengakar di kawasan Indonesia pada abad XIII, sedangkan agama Katolik baru tiba dua abad sesudah itu. Akan tetapi, melalui penelitian yang luas, Jan Bakker, SJ telah menunjukkan dengan meyakinkan bahwa agama Katolik sudah pada abad VII M berakar di Sumatera Utara. Dari situ Katolisisme menyebar ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan kiranya bahkan sampai di Pulau Jawa. Meskipun kehadiran umat Katolik yang lebih kuno pada abad VII tidak meninggalkan jejak-jejak yang hidup, fakta-fakta sejarah yang sekarang sudah terkenal itu toh perlu diperhatikan selayaknya. Alasan yang pertama ialah: kebanyakan orang di Barat tidak tahu-menahu tentang data historis yang baru itu. Sebab, kebanyakan tentang kepustakaan tentang itu terbit dalam bahasa Indonesia. Alasan kedua: kenyataan bahwa data sejarah itu tidak diketahui memainkan peranan dalam polemic dengan kalangan-kalangan muslim tertentu. Diandaikan saja: agama Kristen memasuki Nusantara berkat kekuatan-kekuatan colonial dari barat (Portugis dan Belanda). Oleh karena itu, karena kolonialisme itu sudah lewat, juga agama Kristen sebagai unsur asing colonial harus meninggalkan Indonesia saja! Ironi uraian itu ialah: J. Bakker, SJ, justru berdasarkan sumber-sumber Muslim, telah membuktikan bahwa agama Katolik pada abad VII tidak diimpor dari Barat, tetapi dari India Selatan. Dengan demikian, agama Kristen lebih dulu tiba di Nusantara daripada agama Islam.[1]
  
PEMBAHASAN
Dalam membicarakan awal kristenisasi, kami tidak akan melacak sejauh yang dilakukan J. Bakker seperti penjelasan di atas, yang menganggap permulaan pengembangan agama Kristen di Indonesia terjadi pada pertengahan abad VII di Sumatera.[2] Some Indonesian Writers took the conclusion that the first Cristians had arrived in the seventh century and established a community in Northern Sumatera.[3]
Kontak pertama Indonesia dengan kekristenan terjadi ketika orang-orang Portugis tiba pada tahun 1511, dan belakangan melalui Belanda menjelang akhir abad XVI. Ini pun merupakan Zaman Kolonialisme dan Imperialisme di Indoneia. Ketika Portugis yang Katolik Roma yang tiba tiba di Maluku, mereka berhasil membaptiskan orang banyak.[4]
            Usaha kristenisasi tersebut dilakukan dengan cukup sukses oleh orang-orang Portugis, terutama di Maluku, pada abad XVI. Pada abad XVII, tatkala Belanda berhasil menghalau Portugis dari wilayah tersebut, mereka mengembangkan Calvinisme terhadap orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik itu. Meskipun demikian, peralihan kepercayaan ini secara keseluruhan tidaklah terlalu menjadi persoalan bagi mereka. Pengetahuan agama orang-orang Maluku yang terlalu dangkal itu membuat mereka tidak membedakan berbagai dogma dalam aliran-aliran agama Kristen pada waktu itu. Masuknya mereka ke agama Kristen sangat penting untuk dicatat, karena sampai kemerdekaan RI, banyak orang Maluku menjadi serdadu yang diperbantukan pada pasukan Belanda. Mereka dikirim ke kawasan Militer Belanda yang utama, seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Berarti merekalah yang pertama-tama membentuk jama’ah Kristen Pribumi di Pulau Jawa. Akhir abad XVII, jumlah mereka mencapai 5000 jiwa walaupun menurut laporan para Misionaris hanya 8% yang mengikuti kebaktian di gereja-gereja.[5]
Ketika di tahun 1605, Belanda mengalahkan Portugis di Kepulauan Maluku, mereka yang telah dibaptiskan Katolik Roma dipindahkan ke Protestanisme. Selama abad XIX, setelah Belanda mengukuhkan pemerintahannya di seluruh Indonesia, lembaga-lembaga misionaris dari Barat (Jerman, Swis dan Belanda) mulai menyebarkan injil di Indonesia. Sebagai hasil kegiatan-kegiatan ini banyak orang yang dibaptiskan. Orang-orang ini kemudian menjadi yang pertama dari banyak gereja independen yang terbentuk di Indonesia 
Pendudukan Indonesia oleh Jepang di masa Perang Dunia II mempunyai makna khusus bagi orang-orang Kristen di Indonesia. Ini adalah berkat terselubung, karena pendudukan ini mendewasakan orang-orang Kristen di Indonesia. Pada saat itu unsur asing menyusut, tetapi gereja-gereja bertumbuh dalam jumlah dan memperdalam akarnya.[6]
            Semenjak kedatangan Belanda ke Nusantara ini, agama Katolik tidak diakui. Hal ini berlangsung terus menerus sampai keluar dekrit Louis Bonaparte, ketika itu menjadi raja Belanda yang mengatur kebebasan memeluk agama di Belanda, sebagai konsekuensinya juga di Hindia Belanda. [7]
            Pada tahun 1602 didirikan sebuah serikat dagang bernama “Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, VOC ini berkembang menjadi penguasa yang berdaulat di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen dengan segudang prestasinya. VOC tidak hanya merebut monopoli perniagaan, tetapi juga agama. Ketika itu, Gereja Katolik berarti kesudahan. Karena itu, dalam buku-buku Indonesia tentang sejarah Gereja (dari pihak Katolik), periode VOC disebut “abad-abad yang suram dan gelap”. Gereja Protestan Belanda menganggap sebagai tugasnya, yaitu mendampingi hidup rohani para pedagang dan pelaut Belanda. Sekaligus Gereja itu menyadari panggilannya untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan perutusannya (zending) di tengah bangsa-bangsa yang mereka hadapi. Sinode di Dordrecht pada tahun 1618-1619 menyatakan bahwa umat Kristen reformasi diutus oleh Allah untuk mewartakan iman kepada semua orang yang belum mendengarnya.[8]
            VOC melarang Gereja Katolik untuk berkarya di kawasannya, suatu cerminan dari situasi di negeri Belanda. Sebab, di sana Katolisisme dilarang berdasarkan Undang-undang, dan Belanda Utara dinyatakan oleh Roma sebagai daerah misi. Dengan demikian Protestanisme berkuasa di Nusantara.[9]
            Awal kegiatan misionaris di Jawa terjadi pada masa Pemerintahan Inggris di Hindia Belanda. Tahun 1813 seorang Inggris, Robinson datang ke Batavia. Dia bukanlah pendeta yang dikirim untuk umat Eropa, melainkan datang untuk mengkristenkan para Bumiputra. Tahun berikutnya, 1814, London Missionary Society (LSM) mengirim tiga misionaris: Kam, Supper, dan Bruckner. Kam bertugas di Maluku, ia tinggal beberapa lama di Surabaya. Di kota ini ia bertemu dengan Emde. Ia berhasil mengkristenkan Emde dan mendorongnya untuk ikut mengembangkan Kristenisasi. Kedua Pendeta lainnya menetap di Jawa, disini terlihat bahwa Pulau Jawa relatif paling penting di mata LSM. Supper melayani Jama’ah “Melayu” di Batavia; ia meninggal di tahun kemudian. Bruckner menetap di Semarang dan memulai penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa.[10]
            Gerakan misionaris Protestan mula-mula muncul pada akhir abad XVIII dan berawal dari Inggris dan Amerika Serikat. Seperti yang kita ketahui bahwa LSM lah yang mengirimkan orang-orangnya ke Jawa pada masa pemerintahan Raffles. Di antara pelopor ini disebut, antara lain, W. Robinson yang bertugas di Batavia, Bruckner yang menerjemahkan Injil, Supper di Batavia. Dua lainnya Milne dan Slater, yang melayani masyarakat Cina.             Beberapa Misionaris perintis, di antaranya: Jellesma, Hoezoo, Jansz, dan Vermeer.[11]
            Para misionaris pada waktu itu meninggalkan desa-desa karena mereka tidak merasa betah di sana; dan menemukan suasana yang lebih cocok dengan mereka di Kota. Misi-misi ini mengarahkan usaha mereka dalam bidang pengabdian sosial, seperti kesehatan, kerajinan tangan, dan terutama pendidikan. Khususnya dalam bidang pendidikan, yang memang khas Barat, mereka sukses. Pada akhir abad XIX, jumlah pemeluk Kristen melebihi 60.000 tahun 1938.[12]
            For Indonesia, as for other parts of Asia and Africa, the nineteenth century was “the great century of Christian misson”, but only in a territorial sense. By 1900, with the exception of some staunchly Muslim regions such as Aceh and West Sumatera, missions were established in the entire country. However, compared to the situation at the beginning of the century, the number of Christians had hardly increased. Non-European Catholics numbered 26,464; the number of Protestants was about 250,00, as against 11,000 and 40,000 respectively a hundred years earlier. Among these, the Chinese numbered only a few hundred. In the meantime the population of the Archipelago had increased more than fourfold to about thirty million. In the case of Protestants, the growth in numbers was mainly due to the success of the mission in two regions, the Minahasa (100,000) and Tapanuli (43,000).[13]
            Nineteeth century missionaries brought Christianity to Indonesia as they understood it themselves. The Indonesians rejected or accepted their message for reasons originating in their own context. If they accepted it, they again adapted it to that context. Their faith was not just a carbon copy of that of the missionaries, but was adapted to meet their religious, cultural and even political needs. Mentally and educationally, the missionaries had not been equipped to perceive this adaption process and to guide their converts through it. If they observed any signs of it, their judgement was invariably negative. In this way Christian lived the faith was unnecessary wide. Only towards the end of the colonial era did some missionaries start to rethink Western theology in Indonesian terms.[14]
            Ketika penyebaran agama Katolik dimulai, sedang terjadi pengembangan sekolah-sekolah dan pelayanan sosial di kota-kota. Dengan demikian, tidaklah mengherankan misi Katolik memulai baktinya dengan menggarap bidang pendidikan pada masyarakat perkotaan yang baru itu. Karena sejak dari dahulu bidang pendidikan ini merupakan kekhasan ordo-ordo katolik, maka sekolah-sekolah Katolik menjadi modal utama eksistensi Gereja Katolik di Jawa abad XX. Tahun 1900, di Jawa sudah terdapat bebrapa ratus orang Jawa yang beragama Katolik.[15]
Pada panorama misi tahun 1940 telah tampil ke muka wajah gerejawi yang bercorak Belanda. Itu berlaku baik bagi kepemimpinannya, para pelayannya, (para imam, bruder, dan suster), maupun juga bagi sebagian umat Katolik. Meskipun ada 84% orang Katolik yang asli Indonesia, ternyata bahwa di kota-kota besar (khususnya di pulau Jawa) gereja bercorak Eropa atau Cina.[16]
Dalam zaman kemerdekaan, orang-orang Kristen di Indonesia, bersama-sama bangsa Indonesia, ikut serta dalam semua kegiatan dan perencanaan pemerintahan Indonesia, dalam proses pembangunan bangsa serta program-program pembangunan. Perasaan oikumenis di antara gereja-gereja di Indonesia pun tumbuh. Salah satu hasil konkrit dari perasaan ini tampak dalam pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia di tahun 1950, yang pada tahun 1984 menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Hubungan dengan Gereja Katolik Roma pun baik, pada tingkat tinggi, maupun pada tingkat-tingkat local.[17]
Kedatangan Kekristenan di Asia berbeda-berbeda dari satu Negara ke Negara yang lain, tapi yang lebih penting lagi, kedatangannya terjadi bersamaan dengan tibanya kolonialisme dan imperialism di Asia. Kesan yang sering diberikan ialah bahwa Kekristenan dilindungi oleh penguasa kolonial. Memang orang-orang Kristen bahkan pernah menggunakan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah-pemerintah colonial. Dalam kaitan ini, apa yang Latourette katakan mengenai motif penyebaran Kekristenan di bagian Pasifik tampaknya akurat. Menurut dia, alasan-alasan untuk menyebarkan Kekristenan harus ditemukan sebagian dalam ekspansi colonial dan perdagangan yang hebat dari bangsa-bangsa Eropa, khususnya pada paruhan terakhir dari masa sebelum 1914, dan sebagian dalam vitalitas yang meningkat dari gereja-gereja di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Lebih lanjut, kata Latourette, Kekristenan datang bersama-sama dengan prestise dari bangsa-bangsa Eropa yang tampaknya begitu kuat.
J. H. Bavinck, seorang misionaris Belanda di Indonesia, menegaskan pandangan ini, ketika ia mengatakan bahwa VOC memandang kegiatan-kegiatan misionaris memiliki hubungan yang erat dengan hak-hak kedaulatan mereka di wilayah-wilayah tempat mereka bekerja. Kata Bavinck lebih lanjut, mereka sadar akan kenyataan bahwa orang-orang di wilayah-wilayah ini harus dibawa pada pengetahuan yang telah membuat tanah air mereka (Belanda) kuat dan agung, yakni Kekristenan. Akibatnya Bavinck menyimpulkan, VOC melihat kaitan antara gereja dan cara hidup Belanda sebagai sesuatu yang hakiki, sehingga dalam penyebaran Injil, mereka niscaya mentransplantasikan cara hidup Belanda pula. Dalam hubungan ini, para penguasa colonial dipandang sebagai perangsang kegiatan-kegiatan penginjilan di Asia.
Namun ini tidak berarti bahwa para penguasa colonial sepenuhnya bertanggung jawab atas penyebaran Injil di Asia sebagai misionaris. Memang benar, seperti telah dikatakan bahwa para penguasa colonial ikut serta dalam proses penginjilan di Asia, namun demikian ada pula bukti bahwa para penguasa colonial pun menjadi penghalang, dan bukan perangsang kegiatan-kegiatan misionaris.[18]
Mengenai penyebaran Kekristenan di Indonesia, Latourette mengatakan bahwa di sebagian besar abad XIX, khusunya dalam paruhan pertamanya, usaha-usaha penyebaran agama Kristen amat dihambat oleh Pemerintah. Latourette dalam hal ini melihat penyebabnya dalam rasa takut pemerintah colonial bahwa hal itu akan membangkitkan perlawanan kaum Muslimin dan dengan demikian mengacaukan penghasilan Belanda. Lebih lanjut Latourette mengatakan bahwa Pemerintah Hindia Belanda secara keagamaan bersikap netral dan kadang-kadang malah hampir bermusuhan terhadap Kekristenan. Berdasarkan hasil bukti ini, dapat dikatakan dengan tepat bahwa mengidentifikasikan Kekristenan dengan kolonialisme tidak selalu tepat, meskipun kedua gejala ini terjadi di Asia pada saat yang sama. Paling tidak hal ini tidak selalu benar di abad XIX, ketika kepentingan para penguasa colonial diarahkan terutama pada keuntungan-keuntungan ekonomi dan perdagangan.[19]
Kami akan memberikan satu fakta sosial dimana penderitaan dan kemiskinan menjadi momok menakutkan bagi siapapun sehingga dia mencari sebuah solusi untuk menyelamatkan dirinya dari hal buruk tersebut yang kemudian membuat dia memilih untuk berteologi mencari kebenaran sebagai solusi dalam hidupnya. Tersebutlah seseorang bernama Sadrach yang dalam beberapa literature tidak jelas menyebutkan dimana dia lahir atau berasal, ada yang menyebutkan dia lahir di Kewedanaan Jepara, di bagian utara Jawa Tengah, bahkan ada yang mencantumkan tempat kelahiran Sadrach yaitu di sebuah desa dekat Demak. Sadrach lahir dari keluarga petani miskin dan di waktu lahir, bernama Radin. Dari nama ini saja sebetulnya sudah terlihat jelas dari kelas social mana ia berasal.[20]
Miskinnya keluarga Radin pada zaman itu dan di daerah tersebut, bukanlah suatu hal yang mengherankan. Sebenarnya sejak kira-kira tahun 1840 daerah utara Jawa Tengah mengalami depresi ekonomi yang gawat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: peningkatan jumlah penduduk yang tajam pada beberapa dasawarsa sebelumnya, panen padi yang gagal antara tahun 1843 dan 1851. Ditambah lagi dengan wabah tifus dan kolera. Keadaan menjadi begitu gawat karena banyak penduduk yang meninggal akibat wabah penyakit dan menderita kelaparan. Alhasil penduduk daerah ini menurun drastis, desa-desa ditinggalkan orang, mereka yang masih hidup memilih pindah ke Jawa Timur, yang saat itu penduduknya tidak sepadat daerah itu, atau mengungsi ke perkebunan pemerintahan atau swasta.
Begitupun juga Radin, ia berangkat meninggalkan orang tua dan kampung halamannya dan hidup dari belas kasihan orang, ia pergi ke arah timur. Kiranya dapat diterima penjelasan Yotham yang mengatakan bahwa Sadrach berkelana untuk memenuhi panggilan agama. Dalam masuskrip Yotham, diungkapkan bahwa Radin meninggalkan desanya lebih cenderung karena ingin mencari kebenaran, daripada terpaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup.[21]
Setelah diterima oleh keluarga yang tidak memiliki anak (Adriaanse), sampailah ia pada seorang guru ngelmu bernama Kurmen alias Sis Kanoman. Dalam manuskrip Yotham dinyatakan  bahwa Sadrach belajar pada guru ilmu agama Jawa “satunggaling guru ngelmu” . setelah belajar pada guru ngelmu, Radin melanjutkan perjalannya pergi ke pesantren-pesantren untuk menyempurnakan ilmunya dalam rangka mencari ilmu sejati terutama ilmu agama. Perjalanannya berkelana mengelilingi Jawa membawanya sampai ke Jombang. Dekat Jombang terdapat desa-desa Kristen, seperti Ngoro yang terletak 20 kilometer dari kota itu. Ada juga desa Mojowarno yang terletak 7 kilometer dari kota Jombang. Di Mojowarmo dia bertemu dengan seorang misionaris bernama Jellesma. Untuk pertama kalinya Radin melakukan kontak dengan orang dan ajaran Kristen serta orang Belanda.[22]
Dialog Sadrach dengan Jellesma belum meyebabkan dia memilih Kristen sebagai agama, karena dia melanjutkan perjalannya menuju sebuah Pesantren di Ponorogo. Di sana dia belajar bahasa Arab dan mendalami ajaran Islam. Setelah sekian lama di Ponorogo, Sadrach kembali ke daerah asalnya, ia menetap di Kauman, Semarang, untuk memperdalam ilmu agamanya. Pada masa itu dia bertemu dengan guru lamanya bernama Pak Kurmen, yang sejak berpisah dengannya  telah menjadi Kristen setelah kalah dalam perdebatan melawan Kiai Tunggul Wulung. Maka untuk kedua kalinya Radin berhubungan dengan orang Kristen dan ajaran Kristen. Hal ini tidak mengherankan sebab bagian utara Jawa Tengah pada zaman itu merupakan pusat Kristen kedua di Pulau Jawa setelah Jawa Timur. Pada saat itulah Sadrach memutuskan untuk masuk agama Kristen. Menurut laporan Heyting, Ligtvoet, dan Residen Bagelen, masuknya Sadrach menjadi Kristen dihubungkan dengan seseorang bernama Johannes Willem Hendrik yang tekenal dengan sebutan Ader. Dialah yang telah membaptis Sadrach. Ader adalah Pendeta Gereja Protestan.[23]
Kisah di atas adalah satu bukti bagaimana berteologi merupakan jalan terbaik bagi seseorang yang sedang terpuruk dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Boelaars, Huub J. W. M. 2009. Indonesianisasi; Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: KANISIUS, Cet. V

Guillot, C. 1985. Kiai Sadrach. Jakarta: Grafiti Pers

Steenbrink, Karel dan Aritonang, Jan Sihar (Editor). 2008. A History of Christianity in Indonesia; Studies in Christian Mission. Leiden and Boston: BRILL

Steenbrink, Karel. 2007 Catholics in Indonesia, 1808-1942; A Documented History. Leiden: KITVL Press

Yewangoee, A. A. 1989. Theologia Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia



[1] Huub J. W. M. Boelaars, OFM, Indonesianisasi; Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kansius, Yogyakarta: 2009, h.59
[2] C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta: 1985, h. 3
[3] Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (Ed), A History of Cristianity in Indonesia; Studies in Cristian Mission, BRILL, Leiden and Boston: 2008, h. 6
[4] A. A . Yewangoe, Theologia Crucis Di Asia, BPK Gunung mulia, Jakarta:1989, h. 29-30
[5] C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta: 1985, h. 3-4
[6] Op. Cit;  h. 30
[7] C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta: 1985, h. 5
[8] Huub J. W. M. Boelaars, OFM, Indonesianisasi; Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kansius, Yogyakarta: 2009, h.68
[9] Ibid; h. 69
[10] Op. Cit;  h. 6
[11]Op. Cit; h. 7
[12] Ibid; h. 18
[13] Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (Ed), A History of Cristianity in Indonesia; Studies in Cristian Mission, BRILL, Leiden and Boston: 2008, h. 161
[14] Ibid; h. 162
[15] C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta: 1985, h. 20
[16] Huub J. W. M. Boelaars, OFM, Indonesianisasi; Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kansius, Yogyakarta: 2009, h. 108
[17] A. A . Yewangoe, Theologia Crucis Di Asia, BPK Gunung mulia, Jakarta:1989, h. 30
[18] Ibid; h. 33
[19] Ibid; h. 34
[20] C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta: 1985, h. 55
[21] Ibid; h. 56
[22] Ibid; h. 57
[23] Ibid; h. 58-62


Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faisal wibowo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger