Latest Post

Agama Masyarakat Mesir Kuno di bawah Raja-raja Firaun 10.000 tahun yang lalu


Kepercayaan Agama

Menurut Herodotus seorang ahli sejarah, Mesir kuno adalah umat yang paling beriman di dunia. Namun agama mereka bukanlah agama yang sejati, namun merupakan sebuah bentuk politheisme yang sesat. Dan mereka tidak bisa meningalkan agama sesat mereka karena mereka orang-orang yang sangat kolot (konservatif).

Bangsa Mesir kuno sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana mereka hidup. Keadaan alam Mesir menjaga negara tersebut terhadap serangan dari luar secara sempurna. Mesir dikelilingi oleh gurun pasir, pegunungan dan lautan disemua sisi. Serangan mungkin dilakukan terhadap negara tersebut hanya dengan kemungkinan dua jalan, namun mereka dapat dengan mudah mempertahankan diri. Bangsa Mesir menjadi terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam ini. Namun dengan sifat fanatik yang berlebihan sehingga bangsa Mesir memperoeh cara berpikir yang membelenggu mereka terhdap perkembangan dan hal-hal yang baru dan mereka sangatlah kolot terhadap agama mereka. Agama nenek moyang mereka yang disebutkan berkali-kali dalam Al Qur'an menjadi nilai yang paling penting bagi mereka.

Inilah sebabnya Fir'aun dan lingkungan dekatnya mengingkari Musa dan Harun ketika mengumumkan Agama Sejati dengan mengatakan ;

Mereka berkata; "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?, kami tidak akan mempercayai kamu berdua".(QS. Yunus: 78)

Agama/kepecayaan dari bangsa Mesir kuno dibagi ke dalam cabang-cabang, yang paling utama menjadi agama resmi negara adalah kepercayaan terhadap orang-orang dan adanya kehidupan setelah kematian.

Menurut agama resmi negara, Fir'aun (Pharaoh) adalah mahkluk suci, dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melindungi mereka di dunia.

Kepercayaan yang berkembang luas dikalangan masyarakat sangatlah rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan Fir'aun. Pada dasarnya mereka percaya kepada banyak tuhan dan tuhan ini biasanya digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.

Kehidupan setelah mati merupakan bagian terpenting dalam kepercayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Sesuai dengan hal ini roh-roh dari orang mati dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut kepada tuhan sebagai hakim dan 4 saksi hakim lainnya, sebuah skala derajat tersusun dipertengahan dan jantung dari ruh/jiwa ditimbang dalam skala ini. Bagi mereka yang mati dengan timbangan kebaikan lebih banyak hidup dalam keadaan penuh dengan keindahan dan hidup dalam kebahagiaan, bagi mereka yang timbangannya lebih berat dengan kejahaan dikirim ke satu tempat dimana mereka mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan Kematian".

Kepercayaan bangsa Mesir terhadap kehidupan di hari kemudian jelas-jelas menunjuukan paralelisme (kesamaan padangan) dengan kepercayaan monotheistik dan agama sejati (yang benar). Dan perintah-perintah suci telah mencapai peradaban Mesir kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan dari monotheisme berubah menjadi Pholytheisme. Seperti telah diketahui bahwa para pemberi peringatan menyerukan orang-orang untuk meng-Esakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, diutus di Mesir dari masa ke masa sebagaimana mererka diutus untuk seluruh penduduk dunia pada satu waktu atau waktu yang lain. Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara terperinci diceritakan dalam Al Qur'an. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting karena terdapat kehadiran anak-anak Israel di Mesir dan bagaimana mereka menatap disana.

Sebaliknya dalam sejarah terdapat keterangan yang menyatakan bahwa banyak orang Mesir yang menyerukan orang-orang terhadap kepercayaan -kepercayaan Monotheistik bahkan sebelum nabi Musa sekalipun, salah satu dari mereka adalah Pharaoh(Fir'aun) yang paling penting dalam sejarah Mesir, dia adalah Amenhotep IV.

Materi referensi:


 

AGAMA TAO


1. A. Agama Tao di China 
Agama Tao dilahirkan di China pada abad ke-2 dan bersejarah lebih 1,800 tahun. Agama Tao memyembahyangkan alam dan nenek moyang sejak zaman kuno, dan pernah mempunyai banyak cawangan. Pada masa ini, agama Tao terdiri daripada 2 cawangan utama iaitu Cawangan Quanzhendao dan Cawangan Zhengyidao yang mempunyai pengaruh tertentu terhadap bangsa Han. Kerana agama Tao tidak menetapkan upacara kepercayaan atau peraturan yang teliti, jumlah umat yang percaya agama itu sukar dihitung. China terdapat kuil agama Tao sebanyak lebih 1,500 buah pada masa ini, dan Qiandao serta Kundao (umat lelaki dan perempuan agama Daoism yang tinggal dan bekerja di kuil) berjumlah lebih 25,000 orang. 

Taoisme menekankan pemahaman "Tao" atau hukum alam semesta untuk hidup dengan harmoni dengan unsur-unsur semula jadi di dalam dunia ini. Laozi tidak mengajar bagaimana mencapai kehidupan yang abadi. Sebaliknya, keinginan untuk mencapai kehidupan yang abadi adalah sesuatu yang dicari-carikan oleh Maharaja-maharaja China, khususnya Shih Huang Ti. Dalam pencarian cara untuk melanjutkan jangka hidup, taifah-taifah Taoisme telah mengembangkan beberapa seni silat yang kini amat popular, khususnya dengan orang-orang Cina yang hendak memperbaik kesihatan mereka. Seni-seni silat seperti tai chi dan pelbagai qigong kini juga menjadi semakin popular dengan orang-orang Barat, mungkin disebabkan minat dalam hal-hal negara China semasa negara China termuncul sekali lagi dalam arena dunia. Pengamal-pengamal tai chi, qigong, dan seni-seni silat yang lain tidak menganggap diri sebagai penganut agama. Sebenarnya tafiah-tafiah Taoisme pada zaman dahulu lebih merupakan persatuan seni silat, berbanding pertubuhan agama.

"Chi", yaitu tenaga dalam badan, bukan lagi dianggap sebagai unsur-unsur primitif tetapi telah memperoleh pengiktirafan oleh perubatan barat sebagai suatu unsur yang benar-benar terjadi dalam badan. Amalan qigong dan seni-seni yang serupa bukan untuk membangkitkan tenaga yang memang wujud di dalam badan, tetapi untuk memperbaik pengalirannya supaya mengukuhkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dan mengelakkan sebarang masalah kesihatan. 

 Tenaga yang serupa dengan tenanga di dalam badan itu juga terdapat di dalam alam sekitar. Selaras dengan konsep hidup dengan harmoni dengan unsur-unsur semula jadi di dalam dunia, ilmu feng shui mencoba memahami dan menguasai unsur-unsur itu. Konsep keharmonian ini juga diamalkan dalam seni bina Barat, walaupun mereka tidak menggelarkan ilmu itu sebagai "feng shui", tetapi kekadangnya menggelarkannya sebagai "pengharmonian seni bina". Bagaimanapun, ilmu feng shui kini telah dicemarkan dengan pelbagai kepercayaan karut yang mungkin dicipta oleh pengamal-pengamal feng shui semata-mata untuk mendapat untung. 

Mungkin sebilangan penganut taifah Taoisme yang amat kecil pada zaman kuno bertapa di gua-gua dan gunung-gunung. Bagaimanapun, kejadian ini tidaklah dalam skala yang serupa dengan yogi-yogi India yang tinggal di dalam hutan banjaran Himalaya. Sejauh yang diketahui, Laozi tidak berbuat demikian. Oleh karena itu, penggunaan tingkah laku beberapa orang penganut taifah untuk mewarnakan keseluruhan kepercayaan Taoisme adalah sesuatu yang salah. Bagaimanapun, tanggapan yang salah itu memang diwujudkan oleh budaya popular Cina, khususnya novel-novel, filem-filem serta komik-komik Cina, yang menonjolkan tingkah laku itu untuk membubui cerita mereka. 

Laozi tidak mengajak penganut-penganutnya meninggalkan hal-hal keduniaan "duniawi" supaya memperolehi tempat yang baik pada hari akhirat. Sebenarnya, budaya Cina tidak mengutamakan hari akhirat. Oleh itu, taifah-taifah Taoisme juga tidak berbuat demikian kerana mereka lagi mengutamakan hidup dalam dunia ini dan oleh itu, hendak mencapai keabadian hidup. Sebaliknya, Laozi hanya "mengutamakan kesederhanaan dan kebebasan daripada keinginan untuk mengelakkan bahaya pengetahuan dan tindakan salah". Sebenarnya, semua agama dan falsafah aliran utama mengingatkan tentang keterlaluan kebendaan. Sebagai contoh, Jesus berkata: "Adalah lebih mudah untuk seekor unta memasuki lubang jarum berbanding orang yang kaya untuk memasuki Syurga." 

B. Agama Tao di Indonesia 
Keberadaan Agama Tao di Indonesia sudah sejak lama, bersamaan dengan datangnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara dalam rangka mencari kehidupan. Dengan demikian, secara tidak langsung, telah membawa adat istiadat yang melekat dalam diri dan keyakinan serta kepercayaan (agama). Selanjutnya, untuk melaksanakan ritual keagamaan dibangunlah tempat-tempat peribadatan Agama Tao di mana mereka berada. Sampai saat ini dapat kita lihat tempat-tempat peribadatan Agama Tao yang tersebar, mulai dari Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) sampai dengan Papua (Irian), yang saat ini orang mengenalnya dengan sebutan Klenteng. 

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan, bahwa umat Agama Tao sejak dahulu hingga saat ini tetap eksis keberadaannya di Tanah Air Indonesia tercinta ini. Sejak adanya perubahan politik di Negara Indonesia pada tahun 1965, dan dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat”, sejak saat itulah perkembangan Agama Tao di Indonesia seolah-olah tidak ada, dan umat Agama Tao sepertinya dipaksakan untuk menjadi umat agama lain. Dan sebutan tempat ibadahnya pun telah diubah namanya dengan tidak menyebutnya sebagai Klenteng (Tao Kuan). Namun, walau keberadaan Agama Tao secara resmi tidak diakui, tetapi dalam kehidupan sehari-hari umat Agama Tao di Indonesia tetap melaksanakan ritual peribadatan sebagaimana ajaran Agama Tao yang diyakininya, meskipun terlihat di luarnya seolah-olah ajaran dari agama lain. 

Oleh karena keberadaan umat Agama Tao di Indonesia tetap ada, maka pada tahun 1974 di Medan dibentuk organisasi keagamaan Tao, yang waktu itu diketuai oleh Taosu Kusumo sekaligus merangkap sebagai pengurus dan anggota. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata banyak dukungan, baik dari kalangan umat agama Tao sendiri (yang dalam hal ini seolah-olah mengaku umat agama lain), maupun komunitas dari umat beragama lainnya yang hidup dan berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibat banyaknya dukungan terhadap Agama Tao di Indonesia, maka umat dan simpatisan Tao mendeklarasikan suatu organisasi Kesamaan Keagamaan pada tanggal 27 Februari 1992 di Jakarta, dengan nama Majelis Taoisme Indonesia (MTI). 

Sejak perubahan politik pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi di segala bidang secara signifikan. Hal ini pula berdampak pada umat Agama Tao dan MTI, ditambah dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000 tentang “Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China”. Selain dari pada itu, diperkuat dengan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menarik untuk disikapi, bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (tertera dalam pertimbangan Keppres No. 6 tahun 2000). 

Selain itu, Negara pun menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama dan kepercayaannya itu (UU No. 39 tahun 1999, ayat 2 Pasal 22). Setiap wagra negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya, untuk berperan serta dalam menjalankan pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakkan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU No. 39 tahun 1999, ayat 2 Pasal 24). Sekalipun diperkuat dalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang ada di negara ini, antara lain : UUD 1945 pasal 29 ayat 2, Inpres No. 1 thn 1965, SKB Menag dan Mendagri No. 1 thn 1979, Instruksi Menag No. 3 thn 1981, UU No. 8 thn 1983, UU No. 10 thn 1992, UU No. 39 thn 1999 tentang Hak Asasi manusia, UU No. 23 thn 2006, UU No. 12 thn 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 40 thn 2008 tentang Diskriminasi Etnis, serta UU lainnya. 

Untuk keberadaan Agama Tao di beberapa negara tetangga pun, Menteri Agama RI telah mengutus jajarannya ke negara asal Agama Tao. Dan mereka secara jelas telah menerima penjelasan, serta melihat langsung tempat peribadatannya. Namun, hingga saat ini, keberadaan umat Agama Tao belum mendapat respon dari pemerintah. Seolah, pemerintah benar-benar tutup mata terhadap Agama Tao. Terbukti, umat Tao masih tetap menggunakan agama lain dalam kartu identitasnya (KTP). Sesungguhnya, pihak MTI telah beberapa kali melayangkan surat ke Departemen Agama RI, dan selalu mendapat jawaban sama, yakni pemerintah belum dapat memberi jawaban. Bila dikatakan, pihak pemerintah tidak mengakui keberadaan Agama Tao di Indonesia, merekapun keberatan. Untuk menyatakan “ya” juga keberatan. 

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa di negeri ini telah terjadi diskriminasi terhadap masyarakat dan rakyatnya, terutama di bidang kepercayaan dan agama. Padahal telah sama-sama diketahui, bahwa warga negara dari suku bangsa China, di Indonesia jumlahnya termasuk terbesar ketiga, setelah Jawa dan Sunda. 

#Dari berbagai sumber
 

PEMBUKAAN PENDAFTARAN KAHFI ANGKATAN 14


KAHFI Motivator School membuka pendaftaran Mahasiswa baru Angkatan 14
Kuliah D3 Ilmu Komunikasi, GRATIS
Dibina langsung oleh
Tubagus Wahyudi, S.T., M.Si., M.CHt., C.HI

Syarat:
 Mengikuti Seminar pada Hari Minggu, 17 Februari 2013
Lulus Tes masuk
Siap berkelakuan/Akhlak baik
bercita-cita jadi MOTIVATOR
Semangat belajar tinggi
Membayar Infaq Pendaftaran:
Gelombang I : 14 Desember 2012 s.d. 19 Januari 2013 Rp. 350.000,-
Gelombang II : 20 Januari 2013 s.d. 16 Februari 2013 Rp. 400.000,-
Pendaftaran dilakukan di Kampus KAHFI,
Jl. Pondok Betung Raya, Ruko Ganda Asri No.25D, Bintaro-Tangerang
Buka setiap hari pkl. 16.00-22.00
Info lebih lanjut hubungi : Amri (081294489935/26E07F43), Wildan Aziz (085691008969/293A468D)


 

Memahami Gejala Fundamentalisme


oleh: 
Azyumardi Azra

Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.

Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.

Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.

Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.

Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan. Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat." (Postmodernism and Religion, 1992).

Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar "High Islam" --sebagai kontras "Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada "High Islam". Basis-basis sosial "Folk Islam" sebagian besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat. Seperti bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat Islam, sebagaimana dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner menyimpulkan, Islam yang puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus punah dalam kondisi modern. Dunia modern, sebaliknya malah merangsang kebangkitannya.

Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori Gellner. Untuk kasus Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai terjadinya proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak seluruh mereka yang mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah mereka disebut sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh tetap lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim.

Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering keliru--apakah sengaja atau tidak--dengan mengidentikkan gejala "kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi keagamaan) di kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah maka pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai "ancaman" vis-a-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif. Kajian-kajian yang lebih obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami gejala fundamentalisme Islam secara lebih baik.

Diambil dari Jurnal Ulumul Qur'an.
 

Makna "F A I S A L"

“F” Face           : Hadapi masalah dengan benar dan yakin. 

“A” Accept       : Terimalah diri sendiri sebagaimana adanya. 

“I” Ignore    : Abaikan celaan orang yang menghalangi jalan mencapai tujuan. 

“S” Self          : Self confidence, self esteem, self respect. Percaya diri, harga diri, citra diri, penghormatan diri akan membebaskan kita dari saat-saat tegang. 

“A” Action       : Cepat bertindak sebelum terlambat.

“L” Learn        : Belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
 

Istilah Fundamentalisme Lahir dari Tradisi Kristen


Oleh: 
Syafiq Syeirozi

Fundamentalisme, selama sekian tahun terakhir selalu diidentikkan dengan radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme. Ironisnya, selama beberapa tahun mutakhir bahkan lebih sering dilekatkan pada Islam ketimbang agama lain, setidaknya sejak kasus terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat, pada Oktober 1981, saat melakukan apel militer.

Namun dewasa ini, seperti pernah ditulis oleh Syafiq Hasyim dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 13 tahun 2002, “Terasa hambar membincang fundamentalisme Islam jika tidak dipertautkan dengan peristiwa serangan bunuh diri penabrakan dua pesawat ke gedung WTC dan Pentagon (pusat pertahanan Amerika).” Atau dalam konteks Indonesia, diskursus fundamentalisme Islam senantiasa dihubungkan dengan peristiwa bom Bali I, Oktober 2002.

Fundamentalisme kerap dituduh sebagai akar ideologis yang melahirkan terorisme. Wataknya  yang eksklusif, mengklaim paling benar, tekstual dalam memahami teks suci, totalistik, dan menempatkan masa lalu sebagai kebenaran, aktif bergerak, hanya perlu sedikit “bumbu” legitimasi kekerasan agar penganutnya bersedia melakukan aksi anarkistis.

Namun secara akademis, sesungguhnya istilah fundamentalisme tidaklah lahir dari tradisi Islam melainkan dari gerakan protestanisme di Amerika. Istilah fundamentalisme populer pertama kali untuk menjelaskan gerakan militan dan konservatif Kristen pada tahun 1920 dalam usahanya melawan pengaruh modernisme.

Fundamentalisme protestan, seperti ditulis oleh Richard T Antoun, dalam buku Understanding Fundamentalism: Christian, Islamic and Jewish Movements (2001), memiliki beberapa karakter di antaranya; Pertama, percaya akan ajaran-ajaran pokok iman Kristen yang pada dasarnya mencakup otoritas kitab suci, kelahiran Yesus dari perawan bunda Maria, kembalinya Yesus secara fisik ke Dunia; Kedua, selalu berupaya menjaga kemurnian ajaran pokok tersebut dari pengaruh ajaran lain dan bersedia mengorbankan diri mereka demi keyakinannya.

Pada awal abad kedua puluh, mereka menyatakan perang terhadap kaum modernis terutama terhadap pikiran-pikirannya mengenai bible dan ajaran evolusi Darwin. Serangan kelompok fundamentalis terpusat pada dua bagian yang sangat penting. Di kalangan denominasi (umat) besar seperti Babtis dan Presbyterian, usaha terpenting diarahkan untuk membersihkan pengaruh modernisme dan berusaha keras untuk melarang ajaran evolusi Darwin diajarkan di sekolah-sekolah umum.

Dalam upayanya ini, kaum fundamentalis mengalami kegagalan dan sejak itu menjadi kelompok terkucil. Namun kemudian mereka bisa menyusun kembali kekuatan pada akhir dekade tahun 1920-an sebagai kekuatan moral yang dominan.

Dalam pandangan Dr. Robert Setyo, pengajar Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, dalam makalah bertajuk Fundamentalisme Kristen (Protestan), sejarah fundamentalisme yang terpapar di atas merupakan fundamentalisme fase pertama. Menurut dia, pada fase pertama, fundamentalisme kerap dipandang sebagai sebagai reaksi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan studi Alkitab.

Dalam studi Alkitab memang sudah dikenal adanya upaya menafsir secara historis-kritis sejak abad 17-an. Semakin lama studi semacam ini menguat dan seiring dengan itu menimbulkan krisis kepercayaaan terhadap otoritas Alkitab. Alkitab seolah dijadikan sebagai obyek penelitian belaka yang bisa dibedah tanpa memedulikan otoritasnya.
Sementara kemajuan ilmu pengetahuan juga berkontribusi pada melemahnya masyarakat dalam memercayai agama (masyarakat menjadi sekuler). Kedua gejala ini memicu reaksi yang kemudian disebut sebagai fundamentalisme. Reaksi yang bertujuan mengembalikan posisi yang semula dinikmati agama.

Sementara, fundamentalisme protestan fase kedua menurut Robert Setyo, adalah fenomena politik di Amerika Serikat pada 2004 berupa dukungan terhadap George W Bush untuk menduduki kursi Presiden AS kedua kalinya. Tatkala pemerintahan Bush mengalami banyak guncangan terutama akibat kebohongan adanya proyek senjata pemusnah masal di Irak yang menjadi alasan bagi AS menyerang negeri seribu satu malam itu, sebenarnya banyak orang menduga Bush mustahil terpilih lagi. Tetapi ternyata Bush kembali memenangkan pemilihan Presiden secara mutlak.

Lalu mengapa hal ini disebut sebagaai gejala fundamentalisme? Ternyata alasan yang dikemukakan para pemilih Bush adalah karena Bush dianggap sebagai figur paling tepat untuk menjaga moralitas bangsa. Sikapnya yang anti aborsi, homoseksual, percobaan stem cell, telah meyakinkan para pemilihnya bahwa dia lah sosok yang dapat membawa AS keluar dari berbagai tragedi yang banyak dialami bangsa AS. Tak sedikit orang yang mengaitkan tragedi 9 September (pengeboman WTC dan Pentagon) dengan kebobrokan moral bangsa AS. Tragedi itu adalah semacam hukuman Tuhan terhadap bangsa yang sudah kehilangan kendali moral. Sehingga untuk mencegah tragedi semacam itu terulang, AS perlu dipimpin oleh sosok dengan moralitas yang benar dan tegas terhadap orang yang moralnya keliru seperti kaum homoseksual.

Karakter fundamentalisme sebenarnya bisa mengidap pemeluk agama mana pun. Yang menjadi masalah, jika klaim kebenaran mutlak itu lantas “dibumbui” dengan doktrin penghalalan darah kelompok lain yang dianggap salah. Dalam kasus mutakhir, aksi pembantaian masal yang dilakukan Anders Behring Breivik, pemuda Kristen fundamentalis di Norwegia pada pertengahan 2011, adalah contoh fundamentalisme yang melahirkan terorisme.

Breivik mengidap ketakutan pada kelompok Islam hingga kemudian melakukan aksi teror. Dan di persidangan ia tidak pernah merasa bersalah atas aksinya itu. Sebaliknya ia percaya bahwa aksinya dibenarkan oleh Tuhan.
 

Yang Sering Kita Dapati Di Dalam Shalat Berjama'ah


Di dalam shalat berjama’ah, kita sering menjumpai berbagai pemandangan dan perilaku yang beraneka ragam. Di antaranya, ada yang terkesan mengganggu dan kurang membuat enak di antara para jama’ah. Tulisan di bawah merupakan kumpulan dari berbagai hal yang sering dijumpai di dalam shalat berjama’ah. Disusun berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri oleh penulis dan dari hasil tanya jawab dengan beberapa orang jama’ah.

Di antara yang pokok dan perlu untuk diketengahkan adalah sebagai berikut: 
§ Ada sebagian orang yang berdiri di dalam shaf secara tidak tegak lurus, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri (gontai), kadang kaki kanan maju dan kadang kaki kiri layaknya orang yang tidak kuat berdiri. Jika ia orang yang sudah tua mungkin bisa dimaklumi, akan tetapi jika yang melakukan hal itu seorang yang masih gagah dan kedua kakinya pun kokoh, maka hal itu tidak sepantasnya. Biasanya orang yang demikian karena merasa malas dan berat dalam menunaikan shalat.
§ Ada di antara sebagian orang yang ketika shalat dimulai, langsung menerobos ke shaf awal atau mencari tempat tepat di belakang imam. Padahal shaf depan telah penuh dan ia datang belakangan sehingga menjadi saling berhimpitan dan membuat orang lain terganggu. Jika ia memang menginginkan shaf depan atau di belakang imam, maka seharusnya ia datang lebih awal.
§ Dan sebaliknya ada juga sebagian orang yang datang ke masjid lebih awal, namun ia tidak segera menempati shaf depan tetapi malah mengam-bil tempat di bagian tengah atau belakang, ia biarkan shaf depan atau posisi belakang imam diambil orang lain, padahal ia merupakan tempat yang utama. Ini adalah kerugian, karena telah membiarkan sesuatu yang berharga lewat begitu saja tanpa mengambilnya serta menghalangi dirinya dari memperoleh kebaikan.
§ Sebagian orang juga ada yang berlebih-lebihan di dalam merapatkan shaf, yakni terus mendorongkan kakinya dengan kuat, padahal antara dia dan sebelahnya sudah saling merapat-kan kaki. Sehingga menjadikan orang yang berada di sebelahnya terganggu, tidak tenang dan tidak khusyu’ di dalam shalatnya. Sebaliknya, ada orang yang meremehkan masalah ini, sehingga membiarkan antara dia dengan orang di sebelahnya ada celah untuk syetan.
§ Ada sebagian juga yang bersemangat dalam menerapkan sunnah di dalam shalat, namun terkadang dengan cara terlarang yaitu mengganggu sesama muslim. Dan sudah maklum, bahwa menjauhi sesuatu yang terlarang lebih didahulukan daripada menjalankan yang mustahab (sunnah). Sebagai contoh adalah seseorang yang merenggangkan kedua tangannya ketika sujud, sehingga sikunya mendorong bagian dada orang yang di sampingnya, atau duduk tawaruk (tahiyat akhir) dalam shaf yang sempit dan membiarkan badannya mendorong kepada orang yang di sebelahnya sehingga mengganggunya.
§ Ada juga di antara mereka yang tatkala berdiri dalam shalat dan bersedekap, sikunya di dada orang lain yang ada di sampingnya, apalagi dalam kondisi shaf yang rapat, tempat yang sempit dan berdesakan. Seharusnya ia bersikap lemah-lembut terhadap sesama muslim, sebisa mungkin merubah posisi dengan menyelaraskan kedua tangan yang bersedekap terhadap orang yang berada di sampingnya.
§ Ada pula di antara jama’ah yang ketika mendapati imam sedang sujud atau duduk, ia tidak segera mengikuti apa yang sedang dilakukan imam tersebut. Akan tetapi, ia menunggu hingga imam berdiri untuk raka’at selanjutnya. Kesalahan ini sering sekali terjadi, padahal yang benar adalah hendaknya ia bersegera mengi-kuti imam masuk ke dalam jama’ah shalat, tanpa memandang apa yang sedang dilakukan imam. Mengenai hal ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda,"Apabila kalian mendatangi shalat sedangkan kami sedang sujud, maka ikutlah sujud, dan janganlah kalian memperhitungkannya dengan sesuatu.”Walaupun ia tidak mendapatkan raka’at tersebut (kecuali jika mendapatkan rukuk), namun ia mendapatkan pahala atas apa yang telah ia kerjakan itu.
§ Ada pula sebagian jama’ah yang ketika datang dan mendapati imam sedang rukuk, ia lalu berdehem, pura-pura batuk, atau berbicara dengan suara agak keras supaya imam mendengar lalu menunggunya (memanjangkan rukuknya). Hal ini jelas mengganggu orang-orang yang sedang shalat, dan membuat mereka tidak tenang (gelisah). Yang diperintahkan syari’at adalah hendaknya ia masuk shaf dalam keadaan tenang dan tidak terburu-buru, jika mendapatkan rukuk, maka alhamdulillah dan kalau ketinggalan, maka hendaknya ia menyempurnakan.
§ Di antara sebagian orang ada pula yang terburu-buru masuk shaf untuk mengejar rukuk, ia bertakbir dengan tujuan untuk rukuk, padahal seharusnya takbir itu adalah takbiratul ihram yang memang hanya dilakukan dalam posisi berdiri. Yang disyariatkan adalah hendaknya ia bertakbir dua kali, pertama takbiratul ihram dan ini merupakan rukun, sedang takbir kedua untuk rukuk yang dalam hal ini adalah mustahab (sunnah).
§ Ada juga orang yang bertakbir untuk mengejar rukuk, namun imam keburu mengangkat kepala. Maka berarti ia memulai rukuk ketika imam telah selesai mengerjakannya, dan ia menganggap, bahwa dirinya telah mendapatkan satu raka’at. Ini merupakan kesalahan dan ia tidak terhitung mendapatkan satu raka’at, sebab untuk mendapatkan satu raka’at seseorang harus mengucapkan minimalnya satu bacaan tasbih (subhana rabbiyal ‘adzim) secara tuma’ninah bersama rukuknya imam.
§ Terkadang pula kita mendapati orang (makmum) yang mengeraskan bacaan shalat dalam shalat sirriyah, sehingga mengganggu orang yang berada di sebelahnya. Selayaknya dalam shalat jama’ah, seseorang jangan mengangkat suaranya hingga terdengar orang lain, cukuplah bacaan itu terdengar oleh dirinya sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah seseorang yang membaca al-Fatihah dengan suara agak keras dalam shalat jahar setelah imam selesai membacanya. Sebaiknya, ia diam untuk mendengarkan bacaan imam atau membaca Al-Fatihah sekedar yang terdengar oleh dirinya sendiri. Juga orang yang melafalkan niat dengan suara yang terdengar orang lain, bahkan hal ini merupakan perkara bid’ah, karena niat itu tempatnya di hati dan Nabi serta para shahabat tidak pernah melafalkan niat.
§ Sebagian orang ada yang shalat di masjid dengan mengenakan pakaian kumal seadanya, pakaian kotor atau pakaian tidur. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat al-A’raf : 31. “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. 7:31)

Jika seseorang akan masuk ke rumah seorang pejabat, atau mau berangkat ke kantor, maka tentu ia akan memilih pakaian yang bagus bahkan yang paling bagus. Maka ketika akan ke masjid tentu lebih utama lagi. Sebagian orang memang ada yang bekerja di tempat-tempat yang mengharuskan pakaian mereka kotor (seperti bengkel, buruh, tani dan lain-lain, red), sehingga ketika shalat dengan baju kotor mereka beralasan karena kondisi pekerjaan yang mengharuskan demikian. Maka penulis menyarankan agar orang tersebut mengkhususkan satu pakaian yang bersih dan hanya dipakai waktu shalat saja.
§ Ada pula sebagian orang yang mendatangi masjid, padahal baru saja makan bawang merah atau bawang putih (dan yang semisalnya seperti petai, jengkol dan lain-lain, red), sehingga menebarkan aroma yang tidak sedap. Dalam sebuah hadits, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, maka janganlah sekali-kali mendekati masjid kami.”

Sama halnya dengan orang yang menghisap rokok yang juga menebarkan bau tidak sedap sebagaimana bawang dan yang semisalnya. Para ulama sepakat bahwa rokok itu merusak dan berbahaya, serta menghisapnya adalah haram pada setiap waktu, bukan ketika mau shalat saja.
§ Ada pula di antara sebagian jama’ah yang tidak perhatian terhadap lurusnya shaf dalam shalat. Maka kita melihat di antara mereka ada yang agak lebih maju atau lebih mundur di dalam shaf, dan tidak lurus dengan para jama’ah yang lain, padahal masjid-masjid sekarang pada umumnya telah membuat garis shaf atau tanda-tanda lain. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah memperingatkan hal itu dengan sabdanya, “Janganlah kalian berbeda (berselisih) di dalam shaf, sebab hati kalian akan menjadi berselisih juga.”Seharusnya setiap makmum berusaha meluruskan diri dengan melihat kanan kirinya, kemudian merapatkan pundak dan telapak kaki antara satu dengan yang lain.
KLASIFIKASI ORANG DI DALAM MELAKSANAKAN SHALAT

1. Orang yang selalu Menjaga Shalatnya.

Yaitu dengan menunaikannya secara baik dan benar serta berjama’ah di masjid. Ia segera memenuhi panggilan shalat ketika mendengar adzan, selalu berusaha berada di shaf terdepan di belakang imam. Di sela-sela menunggu imam, ia gunakan waktu untuk berdzikir, membaca Al-Qur’an hingga didirikan shalat. Orang yang melakukan ini akan mendapatkan pahala yang besar dan terbebas dari dua hal, yaitu dari api neraka dan dari nifaq, sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam at-Tirmidzi dari Anasz.

2. Orang yang Melakukan Shalat dengan Berjama’ah namun Sering atau selalu Terlambat.

Ia selalu ketinggalan takbiratul ihram, satu atau dua raka’at dan bahkan sering datang pada waktu tahiyat akhir. Bagi para salaf ketinggalan takbiratul ihram bukanlah masalah kecil, sehingga mereka sangat perhatian agar tidak ketinggalan di dalamnya.

3. Orang Melakukan Shalat Secara Berjama’ah karena Takut Orang Tua.

Mereka melakukan shalat dengan berjama’ah karena mencari ridha orang tuanya, sehingga tatkala orang tuanya tidak ada di rumah atau sedang bepergian, maka ia tidak lagi mau berjama’ah, lebih-lebih dalam shalat Shubuh.

4. Orang yang Tidak Pernah Shalat Berjama’ah di Masjid.

Ia mendatangi masjid hanya sekali dua kali saja atau ketika Hari Jum’at saja, mereka berdalil dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan, bahwa shalat berjama’ah itu bukan sesuatu yang wajib. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam tidak memberikan rukhshah kepada seorang yang buta untuk shalat di rumah, maka selayaknya seorang muslim mendahulukan ucapan Nabinya.

5. Orang Melakukan Shalat Secara Asal-asalan.

Yaitu tidak menyempurnakan rukuk, sujud serta rukun-rukun dan kewajiban yang lain. Dalam shalatnya ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali, bahkan mungkin hanya sekedar ikut-ikutan shalat dan gerak saja.

6. Orang yang Melakukan Shalat sesuai Syarat dan Rukunnya, namun Ia Tidak Menghayati dan Mengerti.

Ia melakukan shalat dengan raga-nya secara baik, akan tetapi pikirannya mengembara dalam urusan dunia, hatinya pun tidak tertuju pada apa yang sedang ia kerjakan saat itu.

Sumber, “Ashnafunnas Fish Shalah” Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnid.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faisal wibowo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger