oleh:
Azyumardi Azra
Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh
diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok
fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu,
hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di
tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif
seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult
yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.
Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena
fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah
"fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan
Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide
dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya
dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals"
(dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas
dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.
Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka
fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan
fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi
muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak
disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.
Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer
fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan
di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan
kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia
Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses
modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan
sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat
saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami
kemerosotan.
Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan
relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the
Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi"
teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular
City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat,
"menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan.
Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad
lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat." (Postmodernism and
Religion, 1992).
Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner,
hal itu disebabkan watak dasar "High Islam" --sebagai kontras
"Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada
umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa
dasawarsa terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada
"High Islam". Basis-basis sosial "Folk Islam" sebagian
besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat.
Seperti bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat
Islam, sebagaimana dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner
menyimpulkan, Islam yang puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus
punah dalam kondisi modern. Dunia modern, sebaliknya malah merangsang
kebangkitannya.
Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori
Gellner. Untuk kasus Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk
Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai terjadinya
proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak
seluruh mereka yang mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian
menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang
bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah mereka disebut
sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh tetap
lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di
Dunia Muslim.
Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering
keliru--apakah sengaja atau tidak--dengan mengidentikkan gejala
"kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi keagamaan) di
kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah maka
pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai
"ancaman" vis-a-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas
tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif. Kajian-kajian yang lebih
obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami gejala
fundamentalisme Islam secara lebih baik.
Diambil dari Jurnal Ulumul Qur'an.
+ komentar + 1 komentar
assalamualaikum wr.wb saya ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada KI JUMBOYO atas bantuan KI.
kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan KI JUMBOYO pula yang telah memberikan
angka ritual kepada saya yaitu 4 angka dan alhamdulillah langsung tembus. sekali lagi makasih ya KI karna
waktu itu saya cuma bermodalkan uang 300 ribu dan akhirnya saya menang. Berkat angka GAIB hasil ritual KI JUMBOYO
saya sudah bisa buka usaha yaitu BENKEL MOBIL/MOTOR dan TOKO SEMBAKO kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari
sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUB/SMS KI JUMBOYO di nomor hpnya: 082-314-266-999 ramalan KI memang memiliki ramalan GAIB” yang dijamin tembus.,
Posting Komentar