Islam dan Demokrasi



Kalau diruntut sejarahnya, demokrasi baru masuk dalam khazanah pemikiran Islam dan dianggap sebagai nilai yang baik, baru pada akhir paro abad ke-19. Saat negara-negara Islam ketika itu di seluruh belahan bumi kondisinya nyaris serupa: bergumul dengan kolonialisme, ditindas dan diperintah oleh penguasa atau raja yang tiran. Dalam kondisi demikian, mereka mendengar gagasan demokrasi yang berasal dari barat, yang menaruh penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, menekankan kebebasan pendapat dan partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan. Mulailah mereka berbicara mengenai demokrasi sambil mengatakan bahwa sesungguhnya Islam itu demokratis, karena Islam mengakui hak-hak asasi manusia. Buku-buku yang ditulis pemikir Islam pada permulaan abad ke-20 yang membicarakan Islam dan demokrasi memandang demokrasi sebagai sesuatu yang positif.

Waktu itu demokrasi diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam mengambil keputusan, disamping diartikan juga sebagai persamaan di depan hukum. Istilah keadilan baru diartikan sebatas persamaan atau boleh jadi keadilan didefinisikan sebagai persamaan.

Di Barat sendiri, sebelum Amerika menyatakan kemerdekaannya, demokrasi itu tidak popular. Baru setelah Revolusi Prancis menggulingkan kekuasaan yang tiranis –konon mengilhami kemerdekaan Amerika- istilah ini baru popular, meskipun pada waktu Revolusi Prancis itu sendiri kata demokrasi tidak disebut-sebut. Di situ hanya disebutkan idiom-idiom egalite, fraternite, liberte (persamaan, persaudaraan, dan kebebasan). Boleh jadi karena istilah demokrasi itu sendiri sejak zaman Aristoteles dan Plato, sampai Abad Pertengahan hingga Revolusi Prancis, tidak mempunyai arti yang baik. Baru ketika Amerika muncul dan melemparkan istilah demokrasi yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, istilah demokrasi memilii makna positif, sehingga siapa saja menyebut negerinya sebagai negeri yang demokratis. Asal tahu saja, negeri komunis pun menyebut dirinya negeri demokrasi.

Ketika demokrasi memiliki muatan makna positif inilah orang-orang Islam berbicara bahwa Islam itu demokratis. Oleh karena itu, umatnya harus memperjuangkan demokratisasi. Menyebut Islam itu demokratis sebenarnya hanya untuk menyederhanakan perjuangan Islam yang terlalu panjang kalau disebut satu persatu, seperti Islam itu memperjuangkan keadilan, menuntut perdamaian, dan seterusnya. Untuk menyederhanakannya, dikatakan bahwa Islam itu demokratis.

Pada perkembangan berikutnya, istilah demokratis itu sendiri mengalami dinamika, karena ada dialektika dengan social conditioning dan cultural setting . Istilah demokrasi menjadi penuh embel-embel seperti demokrasi terpimpin, demokrasi organic Franco di Spanyol, demokrasi sosialis Nasser di Arab, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Menaruh predikat atau embel-embel di belakang istilah demokrasi ini menyebabkan makna demokrasi yang mulanya positif itu menjadi bias dan lama-kelamaan menjadi tidak menarik. Karena demokrasi yang ditempeli embel-embel itu tidak lain hanya untuk mengaburkan esensi demokrasi itu sendiri.

Belakangan, para pemikir Islam tidak lagi menggunakan istilah demokrasi dengan alasan pengertiannya terlalu kabur. Tema demokrasi yang selama ini dipakai, diganti dengan tema tauhid. Tauhid itu sendiri berarti pengesaan Tuhan, suatu keyakinan bahwa hanya Tuhan yang besar. Semua manusia sama dihadapan Tuhan. Idiom-idiom demokrasi, seperti konsep kebebasan, persamaan, dimasukkan dalam tema Tauhid. Dalam tauhid, ada kebebasan manusia, ada pengakuan bahwa satu kelompok manusia tidak boleh menindas kelompok yang lain. Bisa dimaklumi kemudian jika buku-buku mutakhir para pemikir Islam, kecuali pemikir Indonesia tidak lagi mengagung-agungkan istilah demokrasi, melainkan meluaskan makna tauhid.

Salah satu inti demokrasi adalah pemilihan umum. Negara yang menyatakan diri menganut demokrasi pasti mengadakan pemilihan umum. Apakah kemudian pemilihan umum ini hanya merupakan ritus saja atau secara substansial mencerminkan demokrasi, itu adalah persoalan kedua. Yang penting pemilihan umum memenuhi prinsip-prinsip yang disepakati.

Kemudian prinsip dewan perwakilan. Salah satu ciri demokrasi itu adalah adanya wakil rakyat, mengingat bahwa tidak mungkin semua rakyat bisa mengambil keputusan karena terlalu banyak. Oleh sebab itu, perlu ada wakil-wakilnya. Demokrasi yang langsung dari rakyat hanya bisa dijalankan pada zaman Athena. Sekarang ini tidak mungkin lagi setiap orang berpartisipasi, dan karena itu semua negara menjalankan dewan perwakilan.

Kemudian, ciri demokrasi yang ketiga adalah pers yang bebas. Kehidupan masyarakat industry ditandai dengan semacam system control dari rakyat berupa pers atau opini publik. Opini publik ini diwujudkan di dalam pers, maka pers harus diberikan kebebasan seluas-luasnya. Semua negara mengakui kebebasan pers. Kata “bebas” harus disebut karena merupakan prinsip yang disepakati sebagai salah satu ciri demokrasi itu.

Kemudian ada distribusi kekuasaan (distribution of power). Prinsip ini mungkin berasal dari khazanah klasik. Aristoteles pernah membagi pemerintahan berdasarkan distribusi kekuasaan. Kekuasaan yang dia sebut cratein-cratos berpusat pada beberapa orang, dan disebut plutokrasi. Memang, menurut Aristoteles maupun Plato, bentuk pemerintahan yang paling baik adalah Plutokrasi.

Sekarang pun karena demokrasi itu menunjuk pada banyak orang, harus ada distribusi kekuasaan. Kekuasaan itu tidak boleh berpusat pada satu orang. Konsep itu dijabarkan oleh Montesquieu dengan pemisahan tiga kekuasaan: eksekutif, yudikatif, legislative. Sekarang semua negara menunjukkan adanya pemisahan tiga kekuasaan tersebut. Kabinet, lembaga perwakilan yang berwibawa, dan kehakiman yang independen merupakan cirri utama negara demokrasi.

Ketika orang-orang Islam mencoba merumuskan bentuk pemerintahan dan merujuk pada ajaran-ajaran Islam, mereka menemukan bahwa pandangan mereka bergerak dalam sebuah spectrum, mulai dari yang paling populist (berorientasi pada rakyat) sampai yang paling statist (berorientasi pada negara).

Diantaranya adalah konsep wilayah al-faqih -pemerintahan para faqih- yang dikembangkan oleh kalangan Syi’ah. Konsep ini bukan hanya datang dari Imam Khomeini. Beberapa tokoh lain pun mencoba merumuskannya: Jawwad Mughniyyah, Muhammad Baqir Shadr, dan Khazim Hairi. Yang paling populist adalah rumusan Jawwad Mughniyyah, sedangkan yang paling statist adalah Hairi. Shadr lebih dekat pada yang populist, sedangkan Khomeini lebih cenderung pada yang statist.

Sebagian orang menganggap wilayah al-faqih sangat otoriter. Sehingga menarik melihat kenyataan bahwa di dalam konsep tersebut ada spectrum yang bergerak dari popular sovereignty (kedaulatan rakyat) sampai state sovereignty (kedaulatan negara). Atau, kalau memakai istilah politik, mulai dari yang demokratis sampainyang otoriter.

Jadi, yang menjadi masalah di kalangan Islam bukanlah bentuk pemerintahan, melainkan derajat pemerintahan. Yakni, sampai sejauh mana pemerintah memerintah. Bisa saja ada pemerintahan yang sangat demokratis tetapi tidak kuat, ia tidak betu-betul memerintah. Yang memerintah bias saja tuan-tuan tanah, sementara keputusan-keputusan pemerintah bisa dengan mudah dianulir oleh lembaga lobi. Sebaliknya, ada negara-negara yang tidak demokratis tetapi kuat.

Tampaknya, kalangan pemikir Islam belakangan ini tidak lagi mempermasalahkan bentuk pemerintahan. Yang penting, keadilan dan kesejahteraan rakyat terjamin. Atau, lebih baik satu pemerintah otoriter ketimbang kekuasaan yang terbagi di antara banyak tuan tanah.
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faisal wibowo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger