Agama dan Stratifikasi Sosial


Oleh:
Faisal Wibowo

BAB I 
STRATIFIKASI SOSIAL 

1. Pengertian Stratifikasi Sosial 
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Seorang sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin mengemukakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). 

Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise. Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise. Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:. 

a. Ukuran kekayaan 
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja. 

b. Ukuran kekuasaan dan wewenang 
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan. 

c. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur. 

d. Ukuran ilmu pengetahuan 
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya. Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya system berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Pelapisan sosial merupakan proses menempatkan diri dalam suatu lapisan (subyektif) untuk penempatan orang kedalam lapisan tertentu 

Contoh Subyektif: 
1. Sekelompok orang karena faktor tertentu (biasanya status) tidak mau disamakan dengan sekelompok yang lain. 
2. Sekelompok orang yang lebih kaya kadang merasa risih bergaul dengan yang miskin 

Contoh Obyektif: 
1. Sekolompok orang merasa minder ( faktor tertentu) apabila bergaul dengan orang kelasnya lebih diatasnya. 

Seorang ahli filsafat dari Yunani yang kenamaan yaitu Aristoteles pernah mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap Negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Ucapan demikian itu sedikit banyaknya membuktikan pada zaman itu dan diduga pada zaman-zaman sebelumnya orang telah mengakui adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke atas. 

Seorang Sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin pernah mengatakan bahwa sisem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai berbagai pernyataan yang menyatakan persamaan manusia. Di bidang hukum, misalnya, kita mengenal anggapan bahwa dihadapan hukum semua orang adalah sama; pernyataan serupa kita jumpai pula di bidang agama. Dalam adat Minangkabau kita mengenal ungkapan “tagok sama tinggi, duduk samo rendah”, yang berarti bahwa semua orang dianggap sama. Namun dalam kenyataan sehari-hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Kita melihat bahwa dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di bidang kekuasaan, sedangkan sisanya dikuasai. Kita pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan kriteria lain, misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau berdasarkan prestise dalam masyarakat. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam sosiologi dinamakan stratifikasi sosial (sosial stratification). 

Kata stratification berasal dari kata “stratum”, jamaknya: strata yang berarti lapisan. Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan dalam masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat yang kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya. 

Lapisan-lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang taraf kebudayaan masih sederhana, lapisan-lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, golongan budak dan bukan budak, pembagian kerja dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula system lapisan-lapisan dalam masyarakat. Sejak lahir orang memperoleh sejumlah status tanpa memandang perbedaan individu atau kemampuan. 

Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status yang diperoleh ini kita menjumpai berbagai macam stratifikasi. Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-macam. 

Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu: 
1. Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis, 
2. Kelas yang didasarkan pada faktor politis, 
3. Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. 

Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu atas dasar politis, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas dasar ekonomis, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. 

2. Karakteristik Stratifikasi Sosial 
Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu: 
1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya 
2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang direktur perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan aksesoris-aksesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan, seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolahraga tenis atau golf, memakai pakaian merk terkenal, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. 
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil. 

3. Unsur-unsur Stratifikasi Sosial 
Hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teori sosiologi tentang system berlapis-lapisan dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Status sosial adalah tempat dimana seseorang dihubungkan dengan orang-orang lainnya dalam suatu sistim sosial atau hasil penilaian orang lain thd diri seseorang dengan siapa ia berhubungan. 
Cara Memperoleh Status: 
1. Ascribed Status – Kedudukan yang diperoleh berdasarkan keturunan, kelahiran – Masyarakat tidak dapat memilih – Bukan berdasar pada kemampuan 
2. Achieved Status Kedudukan yang diperoleh berdasarkan usaha yang sengaja – Berdasarkan pada kemampuan Sosial Role (Peranan Sosial) adalah perilaku normatif seseorang karena kedudukannya atau pola perilaku yang diharapkan sesuai dengan status yang disandangnya dan juga merupakan sisi lain dari kedudukan yang bila seseorang melaksanakan hak & kewajiabannya sesuai dengan kedudukannya berarti telah menjalankan peranannya. Kedudukan dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam system berapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi system sosial masyarakat. Yang diartikan sebagai system sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu tersebut. Dalam hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena langgengnya suatu masyarakat tergantung dari keseimbangan kepentingan-kepentingan individu termaksud. Jadi system sosial merupakan wadah terjadinya proses interaksi sosial. 

4. Terjadinya Stratifikasi Sosial 
Terjadinya stratifikasi sosial atau system pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja, dan system pelapisan yang terjadi karena dengan disengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adanya system yang berlapis-lapis di dalam masyarakat, dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi adapula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang biasanya menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seseorang kepada masyarakat, dan mungkin juga harta, dalam batas-batas tertentu. Ada juga system stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Hal itu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti misalnya pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan. 

5. Sifat Stratifikasi Sosial 
Sifat system berlapis-lapisan di dalam masyarakat, dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan ada pula yang bersifat terbuka (open social stratification). Yang bersifat membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Dalam system yang demikian, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah karena kelahiran. Sebaliknya dalam system yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang dibawahnya. Pada umumnya system terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat dari system yang tertutup. 

BAB II 
AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL 

Kehadiran agama dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakatan di semua tingkat lapisan di seluruh pelosok dunia –mau tidak mau—adalah sebuah fakta sosial yang tak terelakkan. Berbagai bentuk tindakan baik secara individual maupun kolektif seringkali melibatkan unsur keberagamaan yang mengikat. Sedikit banyak kehadiran agama ini telah memberikan sumbangsih bagi terciptanya prinsip-prinsip berinteraksi yang sejak dahulu hingga kini terbentuk dalam masyarakat. Terlebih keberadaan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan dan keyakinan tersebar hampir di semua sudut geografis dunia. Sejak akhir abad ke 18, sosiologi merupakan bagian dari satu disiplin ilmu yang memiliki jangkauan sangat luas. Berbeda dengan disiplin ilmu lainnya, sosiologi berusaha melihat gejala kehidupan sosial dari analisa-analisa ilmiah dan sekaligus hasil proses reset pada suatu objek tertentu. Sehingga dalam hal ini, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sosiologi murni dan sosiologi terapan. Sosiologi murni (pure science) merupakan pencarian pengetahuan; penggunaan praktisnya bukan merupakan perhatian utama. Sementara sosiologi terapan (applied science) adalah pencarian cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis (Ishomuddin, 1996). 

Dari pengertian tersebut, nampaknya pengertian kedua lebih relevan sebagai sebuah alat analisa dalam mengkaji sebuah objek permasalahan. Atau dalam bahasa lain, pengertian kedua dapat dijadikan sebagai kerangka analisa terhadap fenomena agama yang berada di tengah masyarakat. Dan pada kenyataan, banyak orang memandang sosiologi sebagai ilmu terapan guna memecahkan persoalan sosial. Agama sebagai refleksi sosiologis setidaknya dapat ditempatkan sebagai gejala sosial yang tidak lagi dipandang semata-mata sebagai suatu yang sakral dan eskatologis. 

Dalam pandangan Amin Abdullah (1996: 9), agama pada sekarang ini tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologi-normatif semata-mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada "doktrin" ke arah entitas "sosiologis", dari diskursus "esensi" ke arah "eksistensi". Jika ditinjau dari sudut sosiologis, Agama berarti perintah moral yang secara logis menjadi konsekuensi dari ajaran Tuhan (Aep Kusnawan, 1997). Agama baru dipandang nyata apabila setelah ia dihadapkan atau dibenturkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan sosial. Hal ini erat kaitannya dengan pesan agama yang mengajarkan bahwa kehidupan duniawi merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai yang ikut memformat kehidupan (ukhrawi) kelak. 

 Menurut Max Weber, stratifikasi sosial merupakan faktor yang menentukan kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Bagi Weber kelas-kelas yang secara ekonomis—setidaknya mampu—tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji agama-agama tertentu. Sedangkan menurut Ernest Troeltsch, stratifikasi sosial juga mempengaruhi konversi atau beralih agama. Penelitian yang ia lakukan membuktikan bahwa sebagian yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas menengah ke bawah yang hidup di kota-kota besar yang menikmati peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban dari waktu ke waktu. 

Dalam stratifikasi sosial, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat popular, yakni model trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz menggolongkan masyarakat Mojokunto, Kediri, yaitu: santri, abangan dan priyayi. Santri berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya. Abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan Animisme. Priyayi, berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman keagamaan mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu. Trikotomik Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan aspek keberagamaan dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi dan perbaruan. Pada akhirnya muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk memberikan substansi kepada teori kelas menengah. Golongan priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah dan golongan abangan berada di bagian bawah. 

BAB III 
KESIMPULAN 

Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Menurut Drs. Robert M. Z. Lawang stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu system sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese, dan prestise. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupan tidak terlepas dari adanya lapisan-lapisan sosial (stratifikasi sosial) tersebut. Dan itu semua terjadi karena adanya satu faktor yang sangat berpengaruh, yaitu agama. Keberadaan agama di suatu tempat mempengaruhi keadaan sosial dan budaya yang ada di lingkungan itu, juga termasuk mempengaruhi adanya system pelapisan sosial atau yang kita kenal dengan stratifikasi sosial. 

BAB IV 
DAFTAR PUSTAKA 

Narwoko, Dwi J dan Suyanto, Bagong (Editor), Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, 2007, Cet III. 

Soekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1982. 

Tumanggor, Rusmin, Sosiologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004. 

http://id.wikipedia.org
Share this article :
 

+ komentar + 3 komentar

5 Juni 2017 pukul 20.42

ijin copas ya

28 November 2019 pukul 11.02

Ijin copas nya...trimakasih

9 Desember 2019 pukul 08.07

Cukup menambah refrensi.. terima kasih...

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faisal wibowo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger