PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
demikian pesat telah membawa dunia pada era yang disebut dengan globalisasi.
Era ini ditandai dengan munculnya perubahan-perubahan fundamental dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. Lahirnya knowledge society yang
ditandai dengan dominasi otoritas ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia dan
munculnya “global village” yang semakin memperkecil makna perbedaan jarak,
ruang dan waktu, memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan manusia,
baik positif maupun negatif. Di sisi lain, hegemoni ilmu pengetahuan modern
memunculkan kritik feminis yang mengoreksi dan menolak kebenaran universal
epistemologi positivistik yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial yang
bersifat partikular, sarat dengan bias kultur dan gender.[1]
Pada bab sebelumnya kita
telah bersama-sama membahas mengenai apa yang dimaksud dengan gender. Menurut
Azyumardi Azra, gender merupakan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki
yang dibentuk oleh budaya. Perbedaan peran ini sudah demikian melekat dalam
masyarakat, sehingga diasumsikan sebagai peran kodrati. Hal tersebut tidak akan
menimbulkan masalah selama tidak memunculkan ketimpangan relasi gender dan
peran gender.Atau dalam pengertian lain bahwa gender adalah perbedaan tingkah
laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk perbedaan yang
bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Isu gender menjadi agenda
penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi
pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan
yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan
ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik
maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik,
maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam
banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan,
terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan
legitimasi teologis.[2]
Makalah ini akan membahas mengenai bagaimana relasi gender dalam agama Yahudi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gender Perspektif Yahudi
Dalam tradisi Yahudi,
perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik dan sopan,
seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi
perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat
rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan
merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati.
Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.
Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak
suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan
sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya
laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi
berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk
membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya
berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”[3]
Dalam agama
Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan
perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu
perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Gender dalam pandangan Kitab
Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan
tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan
Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi
laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan
laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang
menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata
kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu
kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan
pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II
Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat
dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan
tidak manusiawi ini.[4]Dalam
pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap
perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari
surga[5].
Seperti halnya dalam hukum
waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari
orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih
utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang
lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak
menerima warisan. Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan
jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu.
Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah
lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli
oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya
sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli ataupun
menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak
memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya. Disamping itu, kaum wanita sebagai istri
wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan.
Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.[6]
Sementara dalam buku Fundamentalism
and Woman in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine
K. Young, dijelaskan: As we shall see, women’s roles are a profound
symbol of the extent to which Jewish societies accept—or reject—modernity and
Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah simbol
yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas
dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru
perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima
atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.[7]
Dalam kehidupan Yahudi
Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami
peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan
yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi.[8]Contemporary
social scientists assume that while certain aspect of sexuality are
biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan
sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari
seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh
masyarakat). [9]
Dalam upaya membangun tatanan
baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi
terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi
perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana
yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang
teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan
harkat dan martabat perempuan.[10]
Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa
laki-laki dan wanita adalah ciptaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tetapi,
silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita
pertama, Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adam & Hawa iuraikan
secara rinci di dalam kitab PL, Kejadian 2:4-3:24. Yang intinya: Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: "Wanita yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya." Akibatnya Tuhan berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada waktu kamu melahirkan.Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu."
secara rinci di dalam kitab PL, Kejadian 2:4-3:24. Yang intinya: Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: "Wanita yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya." Akibatnya Tuhan berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada waktu kamu melahirkan.Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu."
Kepada Adam, Tuhan berfirman: "Karena kamu mendengarkan
apa yang dikatakan isterimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah
tersebut...saya turunkan kamu kebumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang
adadibumi sampai kamu mati..."
Para Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang
dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam & Hawa: "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan
kutukan dan kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan,
kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam dalam berkabung,
menjadi budak ang melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah
itu semua adalah kematian." [11]
Hingga saat ini, orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali
berdo'a mengatakan, "Terimakasih Kepada Tuhan, Raja Alam Semesta, Yang
tidak menjadikan kami seorang
wanita".
B.
Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi
tentang Gender
Berbicara mengenai gender berarti membicarakan
peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam masyarakat. Hubungan
laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antara umat manusia.
Apapun yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain,
adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindari
ketidakadilan gender (gender inequalities). Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.
Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini
seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun
bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi,diskriminasi,
tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan
relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Menurut Erich Fromm seorang
Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan
anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan
antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan adalah hubungan antara sebuah
kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap
lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah
jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak
tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah.
Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh
sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[12]
Tokoh
berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat
itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa
wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat
dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk
berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan
undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas
diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal
26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis
liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden
pertama National Organization for Woman pada
tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang
melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty
Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4
Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis
feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya
terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique".
Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam
masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh
waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak
wanita.
Buku
Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique
berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang
menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu
dunia abad 18.
Teori
yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan
istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada
saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani
yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat
merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya,
kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme
Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah
dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah
menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun
juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah
seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah
Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan
tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam
bukunya, Radical future of Liberal
Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak pernah jelas apakah
pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan (keluarga dan
pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung
jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Henry Makow
dalam tulisannya -Gloria Steinem: How the CIA
Used Feminism to Destabilize Society- telah menjelaskan dengan
baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi
kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme
gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan
mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow,
adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen
dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller,
Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London
dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan
dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan
lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan pria
Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga
(dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam
karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan
anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu.
Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan
lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh
sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan
terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak
pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan
bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah
saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak.
Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka
sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana
mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow
panjang lebar.[13]
Dalam buku The
Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view the Christian
Coalition as an extreme example, it represents a much more common tendency in
contemporary culture—both within and without the academy—to conceive of
biblical literature primarily as moral literature, that is, as literature that
provides role models and guidelines for how to live one’s life, socially,
sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther, this
tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick. And we
must not forget that, although it is primarily in non-Jewish interpretive
circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness of the text,
both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up normative
representations of women as objectively beautiful, passive, obedient
(Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu
merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer dan tanpa akademi untuk memahami sastra
Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu, sebagai sastra yang memberikan
model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara sosial, seksual,
spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini
jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa
bahwa, meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang
menemukan repudiations moralistik Keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan
Kristen telah digunakan Esther untuk menopang representasi normatif perempuan
sebagai obyektif cantik, pasif, patuh, rela berkorban.[14] Artinya
Ester ini memandang perempuan sebagai objek normative yang memiliki
karakteristik seperti telah disebutkan diatas, dan ia menyatakan demikian
karena berlandaskan apa yang telah tertulis dalam Bible sebagai sumber ajaran
moral.
KESIMPULAN
Memang masih
menjadi topik yang sangat menarik ketika pembahasan gender ini kembali mencuat
di masyarakat terutama masyarakat yang mengerti akan peran dan fungsi serta
kedudukan masing-masing yang dimiliki. Tentunya tidak dengan tanpa sebab hal
demikian terjadi, kita mengetahui bahwa dalam Bible sebagai sumber ajaran moral
memandang perempuan sebagai makhluk yang memiliki karakteristik berbeda dengan
laki-laki, seperti peran dia di masyarakat, fungsi dia dalam keluarga dan juga
kedudukan dia di mata masyarakat. Hal ini tentunya menjadi satu keunikan
tersendiri yang dimiliki oleh perempuan karena sumber ajaran moral yaitu Bible
memandang mulia kehadiran seorang perempuan di bumi ini.
Sudah menjadi
hal yang biasa peredebatan itu terjadi. Begitupun perdebatan tentang gender.
Banyak tokoh yang memiliki asumsi berbeda satu sama lain, karena sumber
pengetahuan mereka pun berbeda, maka ketika menyikapi hal ini kita tidak bisa
hanya merujuk satu sumber tokoh saja, harus juga dibandingkan atau bahkan dicocokkan dengan sumber yang lain agar tidak
terjadi kesalahpahaman.
Dalam tradisi
Yahudi, masalah gender ini adalah sesuatu hal yang masih diperbincangkan,
karena memang gender ini adalah masalah social antara laki-laki dengan
perempuan. Sebenarnya kalau kita lihat dari sisi social, tidak ada perebedaan
antara keduanya, namun ada hal lain yang menjadikan adanya perebedaan di antara
keduanya baik dari sisi peran, fungsi dan kedudukan.
Pada intinya,
penulis menyimpulkan bahwa relasi gender dalam Yahudi ini masih banyak
persoalan yang belum terselesaikan, dan juga masih banyak hal yang penulis
belum ketahui, akan tetapi bisa dinyatakan bahwa gender dalam tradisi Yahudi
memandang perempuan sebagai makhluk Tuhan yang baik, patuh, dan memiliki
kemampuan luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih,
Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas, dan
Matriarki. Jalasutra, Yoyakarta & Jakarta 2007.
K. Beal, Timothy. The Book of Hiding Gender Ethnicity
Annihilation and Esther Biblical Limit. Routledge, New York, 2002
Leonard J. Swidler. Woman in
Judaism: the Status of Woman in Formative Judaism. Metuchen, New Jersey.
1976
Pusat
Studi Islam UII, Makalah Diskusi Gender Agama Katolik.
Sharma, Arvind & Young, K, Katherine. Fundamentalism
and Women in World Religion. New York, T & T Clark International. 2008
Sumbulah,
Umi. Artikel: Agama dan Keadilan Gender.
Zubaedah, Siti. Mengurai Problematika Gender
dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak Vol.5 No.2 Jul-Des 2010 pp.243-260,
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto.
[1]Mansour Fakih, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.
[2] Siti Zubaedah, Mengurai Problematika
Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi
Gender STAIN Purwokerto, hal. 2
[3] Umi Sumbulah ( Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, Sekretaris
PSG UIN Malang dan Kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya). Agama dan Keadilan Gender.
[4] Dikutip dari makalah diskusi gender dalam
agama katolik, UII Pusat Studi Islam.
[5] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an. h. xxviii
[6] Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. h.
327-328
[7] Arvind Sharma and Katherine K. Young, Fundamentalism
and Woman in World Religions. T & T Clark International. New York,
2008, hal. 77
[10] Siti Zubaedah, Mengurai Problematika
Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi
Gender STAIN Purwokerto, hal. 7
[11]Leonard
J. Swidler, Woman in Judaism: the Status of Woman in Formative Judaism,
Metuchen, N.J: Scarecrow Press, 1976, h. 115).
[12] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan
Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta dan Bandung, 2007, hal. 144
[14]Timothy K. Beal. The Book of Hiding Gender
Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limit. Routledge, New York.
2002, h. 40
Posting Komentar