Relasi Gender dalam Yahudi


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat telah membawa dunia pada era yang disebut dengan globalisasi. Era ini ditandai dengan munculnya perubahan-perubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Lahirnya knowledge society yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia dan munculnya “global village” yang semakin memperkecil makna perbedaan jarak, ruang dan waktu, memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan manusia, baik positif maupun negatif. Di sisi lain, hegemoni ilmu pengetahuan modern memunculkan kritik feminis yang mengoreksi dan menolak kebenaran universal epistemologi positivistik yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial yang bersifat partikular, sarat dengan bias kultur dan gender.[1]
Pada bab sebelumnya kita telah bersama-sama membahas mengenai apa yang dimaksud dengan gender. Menurut Azyumardi Azra, gender merupakan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya. Perbedaan peran ini sudah demikian melekat dalam masyarakat, sehingga diasumsikan sebagai peran kodrati. Hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah selama tidak memunculkan ketimpangan relasi gender dan peran gender.Atau dalam pengertian lain bahwa gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis.[2] Makalah ini akan membahas mengenai bagaimana relasi gender dalam agama Yahudi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Gender Perspektif Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”[3]
Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.[4]Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga[5].
Seperti halnya dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya.  Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.[6]
Sementara dalam buku Fundamentalism and Woman in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine K. Young, dijelaskan: As we shall see, women’s roles are a profound symbol of the extent to which Jewish societies accept—or reject—modernity and Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.[7]
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi.[8]Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat). [9]
Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan martabat perempuan.[10]
Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa laki-laki dan wanita adalah ciptaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tetapi, silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita pertama, Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adam & Hawa  iuraikan
secara rinci di dalam kitab PL, Kejadian 2:4-3:24. Yang intinya: Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: "Wanita yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya." Akibatnya Tuhan berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada waktu kamu melahirkan.Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu."
Kepada Adam, Tuhan berfirman: "Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan isterimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut...saya turunkan kamu kebumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang adadibumi sampai kamu mati..."
Para Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam & Hawa:  "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan kutukan dan kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam dalam berkabung, menjadi budak ang melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian." [11]
Hingga saat ini, orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo'a mengatakan, "Terimakasih Kepada Tuhan, Raja Alam Semesta, Yang tidak  menjadikan kami seorang wanita".

B.     Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Berbicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antara umat manusia. Apapun yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindari ketidakadilan gender (gender inequalities).  Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi,diskriminasi, tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki  dan kaum perempuan  adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[12]
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique". Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?” 
Henry Makow dalam tulisannya -Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Society- telah menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.[13]

Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view the Christian Coalition as an extreme example, it represents a much more common tendency in contemporary culture—both within and without the academy—to conceive of biblical literature primarily as moral literature, that is, as literature that provides role models and guidelines for how to live one’s life, socially, sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther, this tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick. And we must not forget that, although it is primarily in non-Jewish interpretive circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness of the text, both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up normative representations of women as objectively beautiful, passive, obedient (Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer  dan tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu, sebagai sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara sosial, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa bahwa, meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang menemukan repudiations moralistik Keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan Kristen telah digunakan Esther untuk menopang representasi normatif perempuan sebagai obyektif cantik, pasif, patuh, rela berkorban.[14] Artinya Ester ini memandang perempuan sebagai objek normative yang memiliki karakteristik seperti telah disebutkan diatas, dan ia menyatakan demikian karena berlandaskan apa yang telah tertulis dalam Bible sebagai sumber ajaran moral.

KESIMPULAN

Memang masih menjadi topik yang sangat menarik ketika pembahasan gender ini kembali mencuat di masyarakat terutama masyarakat yang mengerti akan peran dan fungsi serta kedudukan masing-masing yang dimiliki. Tentunya tidak dengan tanpa sebab hal demikian terjadi, kita mengetahui bahwa dalam Bible sebagai sumber ajaran moral memandang perempuan sebagai makhluk yang memiliki karakteristik berbeda dengan laki-laki, seperti peran dia di masyarakat, fungsi dia dalam keluarga dan juga kedudukan dia di mata masyarakat. Hal ini tentunya menjadi satu keunikan tersendiri yang dimiliki oleh perempuan karena sumber ajaran moral yaitu Bible memandang mulia kehadiran seorang perempuan di bumi ini.

Sudah menjadi hal yang biasa peredebatan itu terjadi. Begitupun perdebatan tentang gender. Banyak tokoh yang memiliki asumsi berbeda satu sama lain, karena sumber pengetahuan mereka pun berbeda, maka ketika menyikapi hal ini kita tidak bisa hanya merujuk satu sumber tokoh saja, harus juga dibandingkan atau bahkan  dicocokkan dengan sumber yang lain agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Dalam tradisi Yahudi, masalah gender ini adalah sesuatu hal yang masih diperbincangkan, karena memang gender ini adalah masalah social antara laki-laki dengan perempuan. Sebenarnya kalau kita lihat dari sisi social, tidak ada perebedaan antara keduanya, namun ada hal lain yang menjadikan adanya perebedaan di antara keduanya baik dari sisi peran, fungsi dan kedudukan.

Pada intinya, penulis menyimpulkan bahwa relasi gender dalam Yahudi ini masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, dan juga masih banyak hal yang penulis belum ketahui, akan tetapi bisa dinyatakan bahwa gender dalam tradisi Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk Tuhan yang baik, patuh, dan memiliki kemampuan luar biasa.


DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra, Yoyakarta & Jakarta 2007.


K. Beal, Timothy. The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limit. Routledge, New York, 2002

Leonard J. Swidler. Woman in Judaism: the Status of Woman in Formative Judaism. Metuchen, New Jersey. 1976

Pusat Studi Islam UII, Makalah Diskusi Gender Agama Katolik.

Sharma, Arvind & Young, K, Katherine. Fundamentalism and Women in World Religion. New York, T & T Clark International. 2008

Sumbulah, Umi. Artikel: Agama dan Keadilan Gender.

Zubaedah, Siti. Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak Vol.5 No.2 Jul-Des 2010 pp.243-260, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto.



[1]Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.
[2] Siti Zubaedah, Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, hal. 2
[3] Umi Sumbulah ( Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan Kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya). Agama dan Keadilan Gender.
[4] Dikutip dari makalah diskusi gender dalam agama katolik, UII Pusat Studi Islam.
[5] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. h. xxviii
[6] Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. h. 327-328
[7] Arvind Sharma and Katherine K. Young, Fundamentalism and Woman in World Religions. T & T Clark International. New York, 2008, hal. 77
[8]Ibid, h. 80
[9]Ibid, h. 81
[10] Siti Zubaedah, Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, hal. 7
[11]Leonard J. Swidler, Woman in Judaism: the Status of Woman in Formative Judaism, Metuchen, N.J: Scarecrow Press, 1976, h. 115).
 [12] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta dan Bandung, 2007, hal. 144
[14]Timothy K. Beal. The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limit. Routledge, New York. 2002, h. 40
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faisal wibowo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger