A. Antararan
Fundamentalisme mulanya
digunakan untuk penganut agama Kristen di AS yang muncul pada akhir abad 19 dan
awal abad 20. Awalnya digunakan untuk menunjuk sejumlah ajaran yang dipandang
sebagai sistem religius dan intelektual yang bertumpu pada otoritas Alkitab.
Disamping itu, fundamentalisme merupakan pemikiran keagamaan yang cenderung
menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis harfiyah).
Timbulnya fundamentalisme dianggap sebagai respon dan reaksi terhadap
modernisme dan postmodernisme.
Reaksi ini bermula dari
anggapan bahwa modernisme cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara
elastis dan fleksibel agar sesuai dengan kemajuan zaman modern. Namun,
kenyataannya penafsiran tersebut justeru membawa agama ke posisi terisolir dan
teralienasi. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab
terhadap terjadinya proses sekularisasi secara besar-besaran, di mana peran
agama akhirnya semakin cenderung terkesampingkan dan digantikan oleh peran
sains dan teknologi modern
Menurut Amstrong,
fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang muncul dan selalu ada hampir
pada semua agama. Pada umumnya, kaum fundamentalisme tidak tertarik dengan
jargon-jargon modernisme, seperti demokrasi, pluralisme, toleransi dan
semacamnya. Fundamentalisme juga muncul pada Yahudi, Budha, Hindu, Khong Hu cu,
Kristen maupun Islam yang dikembangkan para pengikutnya. Fundamentalisme
umumnya selalu berbanding lurus dengan kekerasan. Kaum fundamentalisme menolak
budaya liberal dan juga saling bunuh atas nama Tuhan dan agama bahkan berusaha
untuk memasukkan hal sakral pada wilayah profan seperti urusan politik dan
negara. Adakah hubungan antara fundamentalisme dengan terorisme ? Mengapa
terorisme muncul ?
B.
Relasi Fundamentalisme dan Terorisme
Fundamentalisme adalah
kata penuh arti dan muatan; tergantung siapa yang menginterpretasikannya.
Namun, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai sikap [seseorang] yang
berpegang teguh pada prinsip (par excellence prinsip agama) dan mempertahankan
keyakinan itu. Menurut Encyclopaedia of the Social Sciences (1968), fundamentalisme
adalah gerakan agresif dan konservatif di lingkungan gereja Kristen Protestan
di Amerika Serikat yang berkembang dalam dasawarsa sesudah Perang Dunia I.
Gerakan ini tercetus terutama di lingkungan gereja baptist, desciple dan
presbyterian yang memperoleh dukungan dari kalangan atau kelompok kependetaan
lainnya dengan WJ. Bryan sebagai tokohnya.
Martin E. Marty
mengemukakan sikap atau gerakan dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme
apabila memenuhi empat prinsip. Pertama, fundamentalisme bersifat
oppositionalism (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu
melawan terhadap hal (baik ide sekulerisme maupun modernisme) yang bertentangan
dan mengancam eksistensi agama.Kedua, fundamentalisme bersifat
penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis
atas teks dan interpretasinya. Ketiga, fundamentalisme bersifat
menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari
pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak terhadap
paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah
membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Berkaitan dengan sikap dan gerakan fundamentalisme ini maka
secara tidak langsung fundamentalisme merupakan suatu prakondisi terhadap
munculnya terorisme. Sebelum membahas lebih dalam lagi tentang relasi antara
fundamentalisme dengan terorisme, setidak-tidaknya perlu kita mengenal dan
memahami arti dan makna terorisme tersebut. Istilah terorisme dan teroris
dikenal marak oleh masyarakat dunia memang masih relatif baru, namun sebagai
fenomena sosial terorisme bukanlah hal baru bahkan sudah lama muncul
berabad-abad yang lalu. Terorisme pertama kali dalam sejarah manusia
dimulai pada sekitar 66-67 tahun sebelum Masehi bertepatan dengan peristiwa
perjuangan kaum Zealot dalam agama Yahudi. Aksi ini bernama Sicarii yang dilakukan oleh kaum Yahudi untuk
meneror orang-orang Roma yang menjajah Yahudi. Aksi ini dilakukan ketika
terdapat kerumunan orang banyak di hari-hari libur Yerusalem. Kelompok fanatik
yahudi dengan senjata yang bernama sica inilah
melakukan teror terhadap lawan-lawannya.
Terorisme pada
perkembangannya termanifestasi dalam beragam bentuk, motif agama, fanatisme
beragama bahkan bermotif rasialisme, seperti kelompok Ku Kluk Klan di Amerika
serikat yang melaukan pembunuhan besar-besar terhadap orang-orang kulit hitam
yang dianggap berderajad rendah; separatisme seperti gerakan IRA di Irlandia
utara, kelompok Macan Tamil di Sri Langka, Suku Kurdi di Irak dan Turki, ETA di
spanyol dan gerakan Teror RMS di Indonesia; dan oposisi terhadap pemerintah
seperti gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka. Pada perkembangan
berikut, terorisme justru semakin menjadi fenomenal internasional melalui
perkembangan teknologi dan dilakukan dengan lebih sistematis dan teroganisir.
Terorisme sistematik dan terorganisir mulai muncul pada pertengahan abad 19
beriringan dengan berhasilnya modernisasi, sehingga para teroris juga
memanfaatkan jasa modernisme.
Terorisme telah
menjadi fenomena internasional dengan gerakan-gerakan yang tidak terikat oleh
teritorial. Gerakan al-Qaedah misalnya merupakan gerakan yang semata-mata
menentang peradaban global bukan penguasa ataupun negara tertentu, karena peradaban
global yang dimaksud sangat bertentangan dengan nilai-nilai al-Qaedah disamping
juga sebagai reaksi atas sikap dan tindakan AS sebagai polisi dunia yang tidak
adil. Gerakan teroris, sudah mempergunakan senjata pemusnah massal bukan lagi
senjata konvensional.
Terorisme muncul karena
adanya persoalan-2 kompleks, kehadirannya dipengaruhi oleh
faktor-faktor prakondisi dan pemercepatnya. Faktor-2 prakondisi
terjadinya terorisme. Pertama, modernisasi sebagai faktor penting bagi
munculnya problematika sosial ekonomi di dalam masyarakat termasuk juga
munculnya teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, sehingga
peluang kemudahan ini menyebabkan terorisme bisa muncul. Kedua, Lokasi
geografis sebagai tempat-tempat yang memudahkan aksi terorisme berjalan lancar.
Karena itu, di kota-kota lebih berpeluang menjadi sasaran terorisme daripada di
desa. Hal ini karena di kota fasilitas yang mendukung aksi terorisme mudah di
dapat. Ketiga, sistem politik dan sikap pemerintah.
Sementara itu, yang
termasuk faktor-faktor pemercepat terjadinya terorisme adalah; pertama,
adanya diskriminasi keadilan terhadap kelompok tertentu. Situasi seperti ini
bisa melahirkan aksi-aksi untuk mendapatkan keadilan dengan jalan teror. Kedua,
Tersumbatnya saluran partisipasi politik, Ketiga, Faktor-faktor sosial, budaya
dan keempat, adanya fasilitas dan persenjantaan yang memadai. Disamping itu,
terorisme muncul juga dikarenakan adanya motif-motif keagamaan
mempercepat aksi terorisme oleh kelompok fundamentalisme keagamaan.
Fundamentalisme pada
problem tertentu merupakan gerakan keagamaan yang menolak perubahan dan
gerakannya cenderung regresif, sehingga wajar saja jika melahirkan kekerasan
fisik. Akar-akar kekerasan fisik yang pada ujungnya melahirkan terorisme
sebagai akibat dari ekspresi para pengikut fundamentalisme ketika berhadapan
dengan pengikut aliran keagamaan yang tidak sepaham dengan kaum
fundamentalisme. Disamping itu, ekspresi fundamentalisme terkadang sangat
menakutkan dengan melakukan bom bunuh diri, membajak pesawat dan
menembaki jamah-jamah keagaman tertentu. Bagaimana dengan Islam
seperti yang sering dituduhkan Amerika Serikat sebagai Agama teror,
negara-negara Islam dianggap sebagai sarang terorisme ?
C.
Fundamentalisme Islam vis avis Barat dan Konflik Peradaban
Secara epistemologis, fundamentalisme Islam
menunjukkan empat hal: gerakan tajdid, reaksi pada
kaum modernis, reaksi pada westernisasi, dan keyakinan terhadap Islam sebagai
ideologi alternatif: Gerakan tajdid biasanya
dihubungkan dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa pada permulaan setiap abad
Allah membangkitkan seorang yang akan memperbarui agama Islam. Walaupun tidak
disepakati perincian mujaddid (pembaru)
setiap zaman —karena juga tidak disepakati apa yang disebut tajdid— Ibnu Taimiyah sering disebut sebagai mujaddid yang pertamakali menentang kebekuan
pemikiran Islam. Mujaddid lain yang patut
disebut adalah Jamal al Din Al Afghani (1838—1887), pengelana yang tak kenal
lelah secara intelektual geografis. Ia berkunjung ke banyak negara Asia, Eropa
dan Afrika. Gerakannya bersifat politik, moral, intelektual, dan sosial. Ia
membangkitkan semangat umat Islam melawan kolonialisme dan kekuasaan absolut,
mengajak kembali pada ajaran Islam yang asli.
Dalam konteks globalisasi pada milenium ketiga ini, barangkali
pengertian yang paling mendekati kebenaran obyektif tentang fundamentalisme
Islam adalah definisi Fazlur Rahman. Secara umum, kata Rahman, sekarang
fundamentalisme diartikan sebagai gerakan yang menentang Westernisasi dan
sekularisasi di Dunia Islam. Fundamentalisme Islam, demikian Fazlur Rahman,
adalah gerakan yang menampilkan Islam sebagai sistem alternatif, sebagai
kekuatan pembebas (liberating force), yang membebaskan
pemikiran ummat baik dari berabad-abad tradisi maupun dari dominasi intelektual
dan spiritual Barat. Karena merupakan gerakan pembebasan, maka fundamentalisme
sangat dekat dengan perjuangan politik.
Sebagai perlawanan terhadap liberalisasi Islam pada tangan kaum
moderenis, muncul neofundamentalisme. Fazlur Rahman, dengan demikian,
menyebutkan empat kelompok pemikiran Islam — sekularis (Kemal Pasha, Ali Abd ar
Raziq), tradisionalis (Wahabiah dan Sa afiah), moderenis (Ahmad Khan, Amir
Ali), dan neo-fundamentalis. Karena neo-fundamentalis adalah sintesis dari
tradisionalisme (fundamentalisme lama) dengan moderenisme, ia merupakan a modern, richer version of fundamentalism.
Neo-fundamentalisme berusaha menemukan kembali makna risalah Islamiah tanpa
penyimpangan dan distorsi historis dan tanpa dibebani tradisi selipan, bukan
saja untuk kepentingan umat Islam tetapi juga sebagai tantangan terhadap dunia
pada umumnya dan Barat pada khususnya.
Sekarang, fundamentalisme Islam diartikan sebagai gerakan yang
menentang Westernisasi di dunia Islam. Setelah Perang Dunia II, banyak negara
Islam rnemperoleh kemerdekaannya. Dalam perjuangan kemerdekaan, tema-tema
keislaman sering digunakan para pemimpin politik untuk memobilisasikan rakyat
melawan kekuatan imperialisme. Tetapi, pada pasca kemerdekaan, pemimpin-pemimpin
politik ini —yang umumnya dibesarkan dalam tradisi pendidikan Barat— secara
pelan tapi pasti menyingkirkan Islam dan memasukkan institusiinstitusi Barat.
Mereka melihat model pembangunan Barat dapat diterapkan pada masyarakat
Muslimin. Tanpa melihat konteks kultural dan kendala struktural, Westernisasi
diterapkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk beberapa saat, rakyat pun
dapat dihibur.dengan janji kemakmuran seperti yang terdapat di negara-negara
industri. Untuk selanjutnya, rakyat di negara-negara Islam menemukan bahwa
westernisasi lebih banyak menabur dosa ketimbang jasa. Negara-negara muslim
tetap saja terbelakang, dan orang melihat Barat telah gagal, bukan saja di
Timur tetapi di tanah airnya sendiri. Kaum muslimin mulai menoleh lagi kepada
Islam. Mereka kecewa dengan Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Pragmatisme dan
isme-isme lain yang sekular. Why not try Islam?
Mengapa tidak mencoba ajaran Islam? Sekarang, fundamentalisme
adalah gerakan yang menampilkan Islam sebagai sistem alternatif, dengan kembali
mengutip Fazlur Rahman, sebagai a liberating force, freeing the
mind both from centuries of tradition and from the inlellectual and spiritual
domination of the West. Dan percobaan ini kelihatannya telah
berhasil di Iran: Sebuah negeri yang telah dipuji sebagai avant-guarde moderenisasi digantikan oleh sistem
Islam. Tidak mengherankan bahwa setelah revolusi Iran, arus fundamentalisme
melanda dunia Islam.
Mengingat rentangan makna
tersebut, adalah tidak adil untuk membuat suatu telaah tentang fundamentalisme
Islam tanpa menyebut secara spesifik apa yang dimaksud dengan istilah itu.
Dalam artikel ini, saya; akan menggunakan fundamentalisme Islam untuk merujuk
pengertian yang keempat. Di dalamnya terkandung reaksi terhadap moderenisme
dalam pemikiran keislaman, sikap kritis terhadap peradaban Barat, dan dalam
beberapa hal juga karakteristik gerakan pembaharuan. Saya melihat
fundamentalisme dalam pengertian inilah yang sekarang menjadi fenomen sosial
dominan di negara-negara muslim.
Sementara itu, fundamentalisme
Islam dalam pengertian Barat adalah suatu fenomena politik atau gerakan politik
Islam, yang dianggap "berbahaya", memusuhi kapitalisme dan
sekularisme. Sejak komunisme ambruk dan delegitimasi, fundamentalisme Islam
menjadi isu dan komoditi politik yang sangat menguat, terutama di Dunia Barat.
Menjelang akhir abad ini, Francis Fukuyama melihat bahwa
fundamentalisme Islam muncul dan menjadi bahaya terhadap Barat. Mengapa?
Fukuyama menjawab: karena masyarakat Muslim merasa sangat terancam dengan
nilai-nilai Barat yang diimpor ke Dunia Muslim dan ada perasaan betapa martabat
Muslim terluka begitu dalam oleh kegagalannya untuk mempertahankan koherensi
masyarakat tradisional santri dan keberhasilan teknik dan nilai Barat yang
merasuk ke Dunia Islam, yang membuat ummat Islam mengalami alienasi, anomie,
minder dan kecil hati.
Kenyataan yang menyakitkan itu, diperparah lagi oleh cara dan
model media Barat dalam melakukan pembunuhan karakter (character assasination) terhadap Islam. Akbar S
Ahmed menunjukkan bagaimana media massa Barat telah sukses dalam membangun
citra negatif Islam, sehingga masyarakat Barat menolak nilai Islam seperti
toleransi, egalitarianisme dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, menolak
universalisme Islam.
Dalam perkembangan lain, ada kesadaran ummat bahwa globalisasi
adalah "politik" imperialis baru dari Barat yang diwarnai semangat
phobi-Islam. Dan meminjam Hannah Arendt, semua "politik" adalah
perjuangan untuk merebut kekuasaan, dimana the ultimate
kind of power is violence. Di sini kekuasaan dan kekerasan
merupakan suatu keniscayaan. Dalam situasi dihadapkan pada kapitalisme global
yang meluluhlantakkan Dunia Islam, maka sandaran agama merupakan pilihan
terakhir ummat untuk bertahan, berontak, survival, apapun
risiko dan konsekuensi yang akan terjadi.
Itulah sebabnya, dalam menyikapi fenomena kaum fundamentalis
Islam, the last frontiers itu, para intelektual dan elite
masyarakat seyogyanya tidak hanya berada di menara gading dan tidak melihat
fundamentalisme agama dengan spektrum sempit dan myopik, tidak perlu bersikap
phobi. Sebab suatu perspektif yang multi dimensi akan membuka mata, pikiran dan
hati kita tentang apa, bagaimana dan mengapa isu fundamentalisme Islam itu
relatif mudah "go international dan go public". Ada tidaknya fundamentalisme
Islam, tak terlepas dari kepentingan Barat dan kita sendiri, serta untuk
sebagian tergantung dari bagaimana kita mengelola konflik-konflik dan benturan
yang terjadi.
D.
Islam Versus Barat : Konflik peradaban
Islam di Dunia Ketiga mengidap patologi sosial-ekonomi dan
keterbelakangan teknologi, sehingga dalam benturan peradaban (the clash of civilization-meminjam diskursus Samuel
Huntington) dengan peradaan Barat, Islam relatif tertinggal dan terpental.
Namun nilai-nilai, norma, dan spirit Islam di dalam hati dan pikiran ummat
justru semakin menguat pada saat abad ke-21 tiba, abad yang diramalkan Andre
Malraux dan Alvin Toffler sebagai abad agama-agama. Secara ideologis, Islam
kini vis a vis kapitalisme global. Kekalahan demi
kekalahan, secara teknokrasi dan teknologi,tidak membuat ummat menyerah, namun
justru di tengah rasa sakit, Islam menggeliat bangkit. Anwar Ibrahim menyebut
kebangkitan Islam di Asia sebagai "the new face of Islam in
Southeast Asia", wajah baru Islam di Asia Tenggara.
Islam ditantang untuk memperbarui diri dalam mengejar
modernisasi, namun pada saat yang sama ia dituntut untuk tetap mempertahankan
relevansi nilai-nilai dan maknanya terhadap zaman yang carut-marut dan
centang-perenang di dunia yang tunggang langgang (runaway world-meminjam
wacana Anthony Giddens). Dan disitulah letak daya pukau
Islam sebagai agama yang mampu memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan
duniawi yang dihadapi ummatnya. Tinggal bagaimana interpretasi dan kreatifitas
kita mendayagunakan Islam dalam menjaga keselamatan bangsa dan negara yang
pluralistik dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Dalam hal ini, idiom "think globally act
locally" memiliki relevansi bagi kaum muslim dalam
merespon globalisme atau imperialisme baru yang menyingkirkan Islam sebagai sistem
nilai komplementer atau bahkan alternatif, guna menyelamatkan ummat manusia dan
bumi dari krisis dan kehancuran. Kapitalisme yang mengalami metamorfose sebagai
globalisme (imperialisme baru) telah memakan korban sosial yang amat besar,
suatu meta kapital dari piramida korban manusia. Korban-korban itu adalah
rakyat di negara-negara berkembang dan terbelakang yang menjadi wilayah
dominasi ekonomi kapitalisme internasional melalui ekspansi perdagangan barang
dan jasa , yang memperlebar jurang kaya-miskin antara negara-negara maju dan
Dunia Ketiga. Keadaan ini diperhebat lagi dengan krisis ekologi, HAM dan
kesenjangan ekonomi yang menekan berat masyarakat bawah.
Di dalam situasi
terhimpit dan terdesak, ummat Islam secara kultural dan religius pada akhirnya
menyandarkan diri pada fundamentalisme keagamaan untuk melawan situasi
demikian. Perasaan kalah, anomie, anomali, alienasi dan kesia-siaan mendorong
para pemimpin Islam untuk membawa komunitasnya pada gerakan radikal atas nama
agama untuk menegakkan martabat manusia (ummat) yang tertindas dan terhina.
Dewasa ini di kancah global telah berhadap-hadapan antara
kapitalisme dan Islam, baik sebagai sistem nilai maupun ideologi dalam
menstrukturkan artikulasi dan tindakan (aksi). Tatkala Anthony Giddens melontarkan
"Jalan Ketiga", Dunia Islam menoleh kembali dan bahkan merasa lebih
percaya (yakin) bahwa alternatif menghadapi keganasan kapitalisme yang berwatak
dehumanisasi adalah Islam, bukan komunisme, yang di Indonesia mengingatkan
orang pada PKI. Sudah barang tentu Islam mengapresiasi humanisme universal,
gagasan dan nilai-nilai sosial demokrat yang baik dan relevan. Karena itu,
Islam yang orthodoks atau purifikatif dengan sendirinya tidak bisa
menang-menangan semaunya. Akan tetapi dialektika antara kapitalisme, sosialisme
dan Islam dalam model tesa, antitesa dan sintesa, yang kelak menentukan
bagaimana hasilnya. Semuanya masih berjalan dalam proses sejarah, in the makingdi tingkat global maupun lokal.
Barat selalu memandang
bila ada umat Islam yang commit dan menguasai suatu institusi negara tapi tidak
tunduk pada Barat, maka label fundamentalis, radikal, anti pluralisme dan
sebagainya akan dengan mudah ditempelkan oleh Barat. Tidak bisa dipungkiri
sebagian negara Barat memandang negatif pada dunia Islam selama masih lekat
dengan Islamnya. Selama umat Islam tidak mau menjadikan Barat sebagai
"taghut"nya, maka apapun yang dilakukan bisa diganjal. Bukanlah hal
yang aneh, ketika negeri Muslim ada yang mau mempelajari nuklir, misalnya,
kecurigaan negara Barat muncul dan mereka berusaha untuk mempersulit dengan
berbagai cara. Kegeraman Perdana Menteri Pakistan Nawaz Syarif cukup beralasan
dengan sikap Barat ini, karena ketika ada kemungkinan pembelian ahli nuklir
Sovyet oleh negara Timur Tengah, Barat meributkannya. Namun, Barat tidak pernah
meributkan bom Yahudi (nuklirnya Israel), atau bom Hindu (nuklirnya India).
Inilah kepentingan Barat
pada umat Islam yang commit agar tidak menjadi bahaya yang mengancamnya.
Akhirnya, berita dan informasi yang sesuai dengan kepentingannya dikeluarkan
untuk menahan umat Islam dan melanggengkan kepentingan Barat. Memang benar apa
yang dikatakan Edward W. Said, intelektual Palestina yang beragama Kristen,
bahwa pemberitaan yang disajikan Barat dan Amerika pada umat Islam disajikan sesuai
dengan kepentingannya. Noam Chomsky, seorang Yahudi "pembelot," lebih
tegas mengatakan bahwa penggunaan istilah, seperti "terorisme,"
disesuaikan dengan kepentingan Barat, sehingga jika menyebut istilah terorisme
-juga fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme, anti pluralisme dan
militanisme- maka yang terbayang adalah kelompok seperti di Iran, Sudan, HAMAS
dan gerakan Islam lainnya.
Fundamentalisme memang
tak sempat menjadi istilah sentral, kecuali "terorisme". Kini Amerika
Serikat berupaya keras meyakinkan semua pihak untuk melancarkan perang melawan
terorisme. Sayangnya pelaku teror sulit diungkap, dan agaknya pengejaran
terhadap Osama bin Laden pun lebih didasari praduga yang kuat. Pengejaran
terhadap Osama dan serbuan ke Afghanistan merupakan pekerjaan yang tak ringan
bagi Amerika dalam upaya "memerangi terorisme". Bahkan, langkah AS
ini bisa amat fatal akibatnya, sebab negara adidaya ini pun ternyata melakukan
"pendekatan teror" dalam skala besar sebagai balasan teror yang diterimanya.
Idealnya, negara yang
disebuat sebagai "Polisi Dunia" ini secepatnya berkaca diri dan
segera melakukan upaya-upaya yang lebih adil bagi "tatanan kehidupan
dunia" (world order). Bukan melakukan serangan yang membabi buta yang
hanya sekadar mengejar seorang teroris yang dicurigai. Pada akhirnya memang,
dalam konteks ini, fundamentalisme akan menjadi istilah yang tak kalah
populernya dengan terorisme. Sebab, sudah menjadi wacana yang berkembang,
terutama di kalangan ilmuwan sosial Barat, bahwa fundamentalisme berpotensi kuat
sebagai "akar" dari terorisme. Fundamentalisme memunculkan
gerakan-gerakan radikal, yang dinilai berlawanan dengan ajaran fundamental
mereka. Sayangnya, yang kerap dituduh demikian adalah kelompok-kelompok Islam.
Islam kerap dianggap sebagai agama teror. Sebuah pandangan, yang tentu saja,
salah berat.
Tindakan-tindakan teror
yang sengaja dimunculkan oleh kalangan yang mengaku "demi menegakkan
agama" (atau atas nama "kebenaran" apa pun) biasanya tak lepas
dari aksi-aksi yang muncul di sekitarnya. Aksi memunculkan reaksi. Teror yang
terjadi di AS belakangan ini belum terbukti dimotivasi oleh, setidaknya menurut
klaim pelakunya, motivasi agama. Tapi, satu hal yang pasti, ia muncul karena
akumulasi kekecewaan atas pelbagai kebijakan (aksi) AS yang, dalam banyak hal,
dinilai tidak adil dan senantiasa menerapkan standar ganda. Atau, bahkan,
mungkin teror di AS merupakan konspirasi sama sekali untuk mengadu AS dan
Islam. Wallahualam.
Oleh :
Suhermanto
Ja’far