Agama Masyarakat Mesir Kuno di bawah Raja-raja Firaun 10.000 tahun yang lalu


Kepercayaan Agama

Menurut Herodotus seorang ahli sejarah, Mesir kuno adalah umat yang paling beriman di dunia. Namun agama mereka bukanlah agama yang sejati, namun merupakan sebuah bentuk politheisme yang sesat. Dan mereka tidak bisa meningalkan agama sesat mereka karena mereka orang-orang yang sangat kolot (konservatif).

Bangsa Mesir kuno sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana mereka hidup. Keadaan alam Mesir menjaga negara tersebut terhadap serangan dari luar secara sempurna. Mesir dikelilingi oleh gurun pasir, pegunungan dan lautan disemua sisi. Serangan mungkin dilakukan terhadap negara tersebut hanya dengan kemungkinan dua jalan, namun mereka dapat dengan mudah mempertahankan diri. Bangsa Mesir menjadi terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam ini. Namun dengan sifat fanatik yang berlebihan sehingga bangsa Mesir memperoeh cara berpikir yang membelenggu mereka terhdap perkembangan dan hal-hal yang baru dan mereka sangatlah kolot terhadap agama mereka. Agama nenek moyang mereka yang disebutkan berkali-kali dalam Al Qur'an menjadi nilai yang paling penting bagi mereka.

Inilah sebabnya Fir'aun dan lingkungan dekatnya mengingkari Musa dan Harun ketika mengumumkan Agama Sejati dengan mengatakan ;

Mereka berkata; "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?, kami tidak akan mempercayai kamu berdua".(QS. Yunus: 78)

Agama/kepecayaan dari bangsa Mesir kuno dibagi ke dalam cabang-cabang, yang paling utama menjadi agama resmi negara adalah kepercayaan terhadap orang-orang dan adanya kehidupan setelah kematian.

Menurut agama resmi negara, Fir'aun (Pharaoh) adalah mahkluk suci, dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melindungi mereka di dunia.

Kepercayaan yang berkembang luas dikalangan masyarakat sangatlah rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan Fir'aun. Pada dasarnya mereka percaya kepada banyak tuhan dan tuhan ini biasanya digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.

Kehidupan setelah mati merupakan bagian terpenting dalam kepercayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Sesuai dengan hal ini roh-roh dari orang mati dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut kepada tuhan sebagai hakim dan 4 saksi hakim lainnya, sebuah skala derajat tersusun dipertengahan dan jantung dari ruh/jiwa ditimbang dalam skala ini. Bagi mereka yang mati dengan timbangan kebaikan lebih banyak hidup dalam keadaan penuh dengan keindahan dan hidup dalam kebahagiaan, bagi mereka yang timbangannya lebih berat dengan kejahaan dikirim ke satu tempat dimana mereka mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan Kematian".

Kepercayaan bangsa Mesir terhadap kehidupan di hari kemudian jelas-jelas menunjuukan paralelisme (kesamaan padangan) dengan kepercayaan monotheistik dan agama sejati (yang benar). Dan perintah-perintah suci telah mencapai peradaban Mesir kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan dari monotheisme berubah menjadi Pholytheisme. Seperti telah diketahui bahwa para pemberi peringatan menyerukan orang-orang untuk meng-Esakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, diutus di Mesir dari masa ke masa sebagaimana mererka diutus untuk seluruh penduduk dunia pada satu waktu atau waktu yang lain. Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara terperinci diceritakan dalam Al Qur'an. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting karena terdapat kehadiran anak-anak Israel di Mesir dan bagaimana mereka menatap disana.

Sebaliknya dalam sejarah terdapat keterangan yang menyatakan bahwa banyak orang Mesir yang menyerukan orang-orang terhadap kepercayaan -kepercayaan Monotheistik bahkan sebelum nabi Musa sekalipun, salah satu dari mereka adalah Pharaoh(Fir'aun) yang paling penting dalam sejarah Mesir, dia adalah Amenhotep IV.

Materi referensi:


 

AGAMA TAO


1. A. Agama Tao di China 
Agama Tao dilahirkan di China pada abad ke-2 dan bersejarah lebih 1,800 tahun. Agama Tao memyembahyangkan alam dan nenek moyang sejak zaman kuno, dan pernah mempunyai banyak cawangan. Pada masa ini, agama Tao terdiri daripada 2 cawangan utama iaitu Cawangan Quanzhendao dan Cawangan Zhengyidao yang mempunyai pengaruh tertentu terhadap bangsa Han. Kerana agama Tao tidak menetapkan upacara kepercayaan atau peraturan yang teliti, jumlah umat yang percaya agama itu sukar dihitung. China terdapat kuil agama Tao sebanyak lebih 1,500 buah pada masa ini, dan Qiandao serta Kundao (umat lelaki dan perempuan agama Daoism yang tinggal dan bekerja di kuil) berjumlah lebih 25,000 orang. 

Taoisme menekankan pemahaman "Tao" atau hukum alam semesta untuk hidup dengan harmoni dengan unsur-unsur semula jadi di dalam dunia ini. Laozi tidak mengajar bagaimana mencapai kehidupan yang abadi. Sebaliknya, keinginan untuk mencapai kehidupan yang abadi adalah sesuatu yang dicari-carikan oleh Maharaja-maharaja China, khususnya Shih Huang Ti. Dalam pencarian cara untuk melanjutkan jangka hidup, taifah-taifah Taoisme telah mengembangkan beberapa seni silat yang kini amat popular, khususnya dengan orang-orang Cina yang hendak memperbaik kesihatan mereka. Seni-seni silat seperti tai chi dan pelbagai qigong kini juga menjadi semakin popular dengan orang-orang Barat, mungkin disebabkan minat dalam hal-hal negara China semasa negara China termuncul sekali lagi dalam arena dunia. Pengamal-pengamal tai chi, qigong, dan seni-seni silat yang lain tidak menganggap diri sebagai penganut agama. Sebenarnya tafiah-tafiah Taoisme pada zaman dahulu lebih merupakan persatuan seni silat, berbanding pertubuhan agama.

"Chi", yaitu tenaga dalam badan, bukan lagi dianggap sebagai unsur-unsur primitif tetapi telah memperoleh pengiktirafan oleh perubatan barat sebagai suatu unsur yang benar-benar terjadi dalam badan. Amalan qigong dan seni-seni yang serupa bukan untuk membangkitkan tenaga yang memang wujud di dalam badan, tetapi untuk memperbaik pengalirannya supaya mengukuhkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dan mengelakkan sebarang masalah kesihatan. 

 Tenaga yang serupa dengan tenanga di dalam badan itu juga terdapat di dalam alam sekitar. Selaras dengan konsep hidup dengan harmoni dengan unsur-unsur semula jadi di dalam dunia, ilmu feng shui mencoba memahami dan menguasai unsur-unsur itu. Konsep keharmonian ini juga diamalkan dalam seni bina Barat, walaupun mereka tidak menggelarkan ilmu itu sebagai "feng shui", tetapi kekadangnya menggelarkannya sebagai "pengharmonian seni bina". Bagaimanapun, ilmu feng shui kini telah dicemarkan dengan pelbagai kepercayaan karut yang mungkin dicipta oleh pengamal-pengamal feng shui semata-mata untuk mendapat untung. 

Mungkin sebilangan penganut taifah Taoisme yang amat kecil pada zaman kuno bertapa di gua-gua dan gunung-gunung. Bagaimanapun, kejadian ini tidaklah dalam skala yang serupa dengan yogi-yogi India yang tinggal di dalam hutan banjaran Himalaya. Sejauh yang diketahui, Laozi tidak berbuat demikian. Oleh karena itu, penggunaan tingkah laku beberapa orang penganut taifah untuk mewarnakan keseluruhan kepercayaan Taoisme adalah sesuatu yang salah. Bagaimanapun, tanggapan yang salah itu memang diwujudkan oleh budaya popular Cina, khususnya novel-novel, filem-filem serta komik-komik Cina, yang menonjolkan tingkah laku itu untuk membubui cerita mereka. 

Laozi tidak mengajak penganut-penganutnya meninggalkan hal-hal keduniaan "duniawi" supaya memperolehi tempat yang baik pada hari akhirat. Sebenarnya, budaya Cina tidak mengutamakan hari akhirat. Oleh itu, taifah-taifah Taoisme juga tidak berbuat demikian kerana mereka lagi mengutamakan hidup dalam dunia ini dan oleh itu, hendak mencapai keabadian hidup. Sebaliknya, Laozi hanya "mengutamakan kesederhanaan dan kebebasan daripada keinginan untuk mengelakkan bahaya pengetahuan dan tindakan salah". Sebenarnya, semua agama dan falsafah aliran utama mengingatkan tentang keterlaluan kebendaan. Sebagai contoh, Jesus berkata: "Adalah lebih mudah untuk seekor unta memasuki lubang jarum berbanding orang yang kaya untuk memasuki Syurga." 

B. Agama Tao di Indonesia 
Keberadaan Agama Tao di Indonesia sudah sejak lama, bersamaan dengan datangnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara dalam rangka mencari kehidupan. Dengan demikian, secara tidak langsung, telah membawa adat istiadat yang melekat dalam diri dan keyakinan serta kepercayaan (agama). Selanjutnya, untuk melaksanakan ritual keagamaan dibangunlah tempat-tempat peribadatan Agama Tao di mana mereka berada. Sampai saat ini dapat kita lihat tempat-tempat peribadatan Agama Tao yang tersebar, mulai dari Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) sampai dengan Papua (Irian), yang saat ini orang mengenalnya dengan sebutan Klenteng. 

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan, bahwa umat Agama Tao sejak dahulu hingga saat ini tetap eksis keberadaannya di Tanah Air Indonesia tercinta ini. Sejak adanya perubahan politik di Negara Indonesia pada tahun 1965, dan dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat”, sejak saat itulah perkembangan Agama Tao di Indonesia seolah-olah tidak ada, dan umat Agama Tao sepertinya dipaksakan untuk menjadi umat agama lain. Dan sebutan tempat ibadahnya pun telah diubah namanya dengan tidak menyebutnya sebagai Klenteng (Tao Kuan). Namun, walau keberadaan Agama Tao secara resmi tidak diakui, tetapi dalam kehidupan sehari-hari umat Agama Tao di Indonesia tetap melaksanakan ritual peribadatan sebagaimana ajaran Agama Tao yang diyakininya, meskipun terlihat di luarnya seolah-olah ajaran dari agama lain. 

Oleh karena keberadaan umat Agama Tao di Indonesia tetap ada, maka pada tahun 1974 di Medan dibentuk organisasi keagamaan Tao, yang waktu itu diketuai oleh Taosu Kusumo sekaligus merangkap sebagai pengurus dan anggota. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata banyak dukungan, baik dari kalangan umat agama Tao sendiri (yang dalam hal ini seolah-olah mengaku umat agama lain), maupun komunitas dari umat beragama lainnya yang hidup dan berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibat banyaknya dukungan terhadap Agama Tao di Indonesia, maka umat dan simpatisan Tao mendeklarasikan suatu organisasi Kesamaan Keagamaan pada tanggal 27 Februari 1992 di Jakarta, dengan nama Majelis Taoisme Indonesia (MTI). 

Sejak perubahan politik pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi di segala bidang secara signifikan. Hal ini pula berdampak pada umat Agama Tao dan MTI, ditambah dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000 tentang “Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China”. Selain dari pada itu, diperkuat dengan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menarik untuk disikapi, bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (tertera dalam pertimbangan Keppres No. 6 tahun 2000). 

Selain itu, Negara pun menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama dan kepercayaannya itu (UU No. 39 tahun 1999, ayat 2 Pasal 22). Setiap wagra negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya, untuk berperan serta dalam menjalankan pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakkan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU No. 39 tahun 1999, ayat 2 Pasal 24). Sekalipun diperkuat dalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang ada di negara ini, antara lain : UUD 1945 pasal 29 ayat 2, Inpres No. 1 thn 1965, SKB Menag dan Mendagri No. 1 thn 1979, Instruksi Menag No. 3 thn 1981, UU No. 8 thn 1983, UU No. 10 thn 1992, UU No. 39 thn 1999 tentang Hak Asasi manusia, UU No. 23 thn 2006, UU No. 12 thn 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 40 thn 2008 tentang Diskriminasi Etnis, serta UU lainnya. 

Untuk keberadaan Agama Tao di beberapa negara tetangga pun, Menteri Agama RI telah mengutus jajarannya ke negara asal Agama Tao. Dan mereka secara jelas telah menerima penjelasan, serta melihat langsung tempat peribadatannya. Namun, hingga saat ini, keberadaan umat Agama Tao belum mendapat respon dari pemerintah. Seolah, pemerintah benar-benar tutup mata terhadap Agama Tao. Terbukti, umat Tao masih tetap menggunakan agama lain dalam kartu identitasnya (KTP). Sesungguhnya, pihak MTI telah beberapa kali melayangkan surat ke Departemen Agama RI, dan selalu mendapat jawaban sama, yakni pemerintah belum dapat memberi jawaban. Bila dikatakan, pihak pemerintah tidak mengakui keberadaan Agama Tao di Indonesia, merekapun keberatan. Untuk menyatakan “ya” juga keberatan. 

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa di negeri ini telah terjadi diskriminasi terhadap masyarakat dan rakyatnya, terutama di bidang kepercayaan dan agama. Padahal telah sama-sama diketahui, bahwa warga negara dari suku bangsa China, di Indonesia jumlahnya termasuk terbesar ketiga, setelah Jawa dan Sunda. 

#Dari berbagai sumber
 

PEMBUKAAN PENDAFTARAN KAHFI ANGKATAN 14


KAHFI Motivator School membuka pendaftaran Mahasiswa baru Angkatan 14
Kuliah D3 Ilmu Komunikasi, GRATIS
Dibina langsung oleh
Tubagus Wahyudi, S.T., M.Si., M.CHt., C.HI

Syarat:
 Mengikuti Seminar pada Hari Minggu, 17 Februari 2013
Lulus Tes masuk
Siap berkelakuan/Akhlak baik
bercita-cita jadi MOTIVATOR
Semangat belajar tinggi
Membayar Infaq Pendaftaran:
Gelombang I : 14 Desember 2012 s.d. 19 Januari 2013 Rp. 350.000,-
Gelombang II : 20 Januari 2013 s.d. 16 Februari 2013 Rp. 400.000,-
Pendaftaran dilakukan di Kampus KAHFI,
Jl. Pondok Betung Raya, Ruko Ganda Asri No.25D, Bintaro-Tangerang
Buka setiap hari pkl. 16.00-22.00
Info lebih lanjut hubungi : Amri (081294489935/26E07F43), Wildan Aziz (085691008969/293A468D)


 

Memahami Gejala Fundamentalisme


oleh: 
Azyumardi Azra

Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.

Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.

Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.

Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.

Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan. Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat." (Postmodernism and Religion, 1992).

Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar "High Islam" --sebagai kontras "Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada "High Islam". Basis-basis sosial "Folk Islam" sebagian besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat. Seperti bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat Islam, sebagaimana dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner menyimpulkan, Islam yang puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus punah dalam kondisi modern. Dunia modern, sebaliknya malah merangsang kebangkitannya.

Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori Gellner. Untuk kasus Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai terjadinya proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak seluruh mereka yang mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah mereka disebut sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh tetap lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim.

Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering keliru--apakah sengaja atau tidak--dengan mengidentikkan gejala "kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi keagamaan) di kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah maka pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai "ancaman" vis-a-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif. Kajian-kajian yang lebih obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami gejala fundamentalisme Islam secara lebih baik.

Diambil dari Jurnal Ulumul Qur'an.
 

Makna "F A I S A L"

“F” Face           : Hadapi masalah dengan benar dan yakin. 

“A” Accept       : Terimalah diri sendiri sebagaimana adanya. 

“I” Ignore    : Abaikan celaan orang yang menghalangi jalan mencapai tujuan. 

“S” Self          : Self confidence, self esteem, self respect. Percaya diri, harga diri, citra diri, penghormatan diri akan membebaskan kita dari saat-saat tegang. 

“A” Action       : Cepat bertindak sebelum terlambat.

“L” Learn        : Belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
 

Istilah Fundamentalisme Lahir dari Tradisi Kristen


Oleh: 
Syafiq Syeirozi

Fundamentalisme, selama sekian tahun terakhir selalu diidentikkan dengan radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme. Ironisnya, selama beberapa tahun mutakhir bahkan lebih sering dilekatkan pada Islam ketimbang agama lain, setidaknya sejak kasus terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat, pada Oktober 1981, saat melakukan apel militer.

Namun dewasa ini, seperti pernah ditulis oleh Syafiq Hasyim dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 13 tahun 2002, “Terasa hambar membincang fundamentalisme Islam jika tidak dipertautkan dengan peristiwa serangan bunuh diri penabrakan dua pesawat ke gedung WTC dan Pentagon (pusat pertahanan Amerika).” Atau dalam konteks Indonesia, diskursus fundamentalisme Islam senantiasa dihubungkan dengan peristiwa bom Bali I, Oktober 2002.

Fundamentalisme kerap dituduh sebagai akar ideologis yang melahirkan terorisme. Wataknya  yang eksklusif, mengklaim paling benar, tekstual dalam memahami teks suci, totalistik, dan menempatkan masa lalu sebagai kebenaran, aktif bergerak, hanya perlu sedikit “bumbu” legitimasi kekerasan agar penganutnya bersedia melakukan aksi anarkistis.

Namun secara akademis, sesungguhnya istilah fundamentalisme tidaklah lahir dari tradisi Islam melainkan dari gerakan protestanisme di Amerika. Istilah fundamentalisme populer pertama kali untuk menjelaskan gerakan militan dan konservatif Kristen pada tahun 1920 dalam usahanya melawan pengaruh modernisme.

Fundamentalisme protestan, seperti ditulis oleh Richard T Antoun, dalam buku Understanding Fundamentalism: Christian, Islamic and Jewish Movements (2001), memiliki beberapa karakter di antaranya; Pertama, percaya akan ajaran-ajaran pokok iman Kristen yang pada dasarnya mencakup otoritas kitab suci, kelahiran Yesus dari perawan bunda Maria, kembalinya Yesus secara fisik ke Dunia; Kedua, selalu berupaya menjaga kemurnian ajaran pokok tersebut dari pengaruh ajaran lain dan bersedia mengorbankan diri mereka demi keyakinannya.

Pada awal abad kedua puluh, mereka menyatakan perang terhadap kaum modernis terutama terhadap pikiran-pikirannya mengenai bible dan ajaran evolusi Darwin. Serangan kelompok fundamentalis terpusat pada dua bagian yang sangat penting. Di kalangan denominasi (umat) besar seperti Babtis dan Presbyterian, usaha terpenting diarahkan untuk membersihkan pengaruh modernisme dan berusaha keras untuk melarang ajaran evolusi Darwin diajarkan di sekolah-sekolah umum.

Dalam upayanya ini, kaum fundamentalis mengalami kegagalan dan sejak itu menjadi kelompok terkucil. Namun kemudian mereka bisa menyusun kembali kekuatan pada akhir dekade tahun 1920-an sebagai kekuatan moral yang dominan.

Dalam pandangan Dr. Robert Setyo, pengajar Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, dalam makalah bertajuk Fundamentalisme Kristen (Protestan), sejarah fundamentalisme yang terpapar di atas merupakan fundamentalisme fase pertama. Menurut dia, pada fase pertama, fundamentalisme kerap dipandang sebagai sebagai reaksi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan studi Alkitab.

Dalam studi Alkitab memang sudah dikenal adanya upaya menafsir secara historis-kritis sejak abad 17-an. Semakin lama studi semacam ini menguat dan seiring dengan itu menimbulkan krisis kepercayaaan terhadap otoritas Alkitab. Alkitab seolah dijadikan sebagai obyek penelitian belaka yang bisa dibedah tanpa memedulikan otoritasnya.
Sementara kemajuan ilmu pengetahuan juga berkontribusi pada melemahnya masyarakat dalam memercayai agama (masyarakat menjadi sekuler). Kedua gejala ini memicu reaksi yang kemudian disebut sebagai fundamentalisme. Reaksi yang bertujuan mengembalikan posisi yang semula dinikmati agama.

Sementara, fundamentalisme protestan fase kedua menurut Robert Setyo, adalah fenomena politik di Amerika Serikat pada 2004 berupa dukungan terhadap George W Bush untuk menduduki kursi Presiden AS kedua kalinya. Tatkala pemerintahan Bush mengalami banyak guncangan terutama akibat kebohongan adanya proyek senjata pemusnah masal di Irak yang menjadi alasan bagi AS menyerang negeri seribu satu malam itu, sebenarnya banyak orang menduga Bush mustahil terpilih lagi. Tetapi ternyata Bush kembali memenangkan pemilihan Presiden secara mutlak.

Lalu mengapa hal ini disebut sebagaai gejala fundamentalisme? Ternyata alasan yang dikemukakan para pemilih Bush adalah karena Bush dianggap sebagai figur paling tepat untuk menjaga moralitas bangsa. Sikapnya yang anti aborsi, homoseksual, percobaan stem cell, telah meyakinkan para pemilihnya bahwa dia lah sosok yang dapat membawa AS keluar dari berbagai tragedi yang banyak dialami bangsa AS. Tak sedikit orang yang mengaitkan tragedi 9 September (pengeboman WTC dan Pentagon) dengan kebobrokan moral bangsa AS. Tragedi itu adalah semacam hukuman Tuhan terhadap bangsa yang sudah kehilangan kendali moral. Sehingga untuk mencegah tragedi semacam itu terulang, AS perlu dipimpin oleh sosok dengan moralitas yang benar dan tegas terhadap orang yang moralnya keliru seperti kaum homoseksual.

Karakter fundamentalisme sebenarnya bisa mengidap pemeluk agama mana pun. Yang menjadi masalah, jika klaim kebenaran mutlak itu lantas “dibumbui” dengan doktrin penghalalan darah kelompok lain yang dianggap salah. Dalam kasus mutakhir, aksi pembantaian masal yang dilakukan Anders Behring Breivik, pemuda Kristen fundamentalis di Norwegia pada pertengahan 2011, adalah contoh fundamentalisme yang melahirkan terorisme.

Breivik mengidap ketakutan pada kelompok Islam hingga kemudian melakukan aksi teror. Dan di persidangan ia tidak pernah merasa bersalah atas aksinya itu. Sebaliknya ia percaya bahwa aksinya dibenarkan oleh Tuhan.
 

Yang Sering Kita Dapati Di Dalam Shalat Berjama'ah


Di dalam shalat berjama’ah, kita sering menjumpai berbagai pemandangan dan perilaku yang beraneka ragam. Di antaranya, ada yang terkesan mengganggu dan kurang membuat enak di antara para jama’ah. Tulisan di bawah merupakan kumpulan dari berbagai hal yang sering dijumpai di dalam shalat berjama’ah. Disusun berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri oleh penulis dan dari hasil tanya jawab dengan beberapa orang jama’ah.

Di antara yang pokok dan perlu untuk diketengahkan adalah sebagai berikut: 
§ Ada sebagian orang yang berdiri di dalam shaf secara tidak tegak lurus, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri (gontai), kadang kaki kanan maju dan kadang kaki kiri layaknya orang yang tidak kuat berdiri. Jika ia orang yang sudah tua mungkin bisa dimaklumi, akan tetapi jika yang melakukan hal itu seorang yang masih gagah dan kedua kakinya pun kokoh, maka hal itu tidak sepantasnya. Biasanya orang yang demikian karena merasa malas dan berat dalam menunaikan shalat.
§ Ada di antara sebagian orang yang ketika shalat dimulai, langsung menerobos ke shaf awal atau mencari tempat tepat di belakang imam. Padahal shaf depan telah penuh dan ia datang belakangan sehingga menjadi saling berhimpitan dan membuat orang lain terganggu. Jika ia memang menginginkan shaf depan atau di belakang imam, maka seharusnya ia datang lebih awal.
§ Dan sebaliknya ada juga sebagian orang yang datang ke masjid lebih awal, namun ia tidak segera menempati shaf depan tetapi malah mengam-bil tempat di bagian tengah atau belakang, ia biarkan shaf depan atau posisi belakang imam diambil orang lain, padahal ia merupakan tempat yang utama. Ini adalah kerugian, karena telah membiarkan sesuatu yang berharga lewat begitu saja tanpa mengambilnya serta menghalangi dirinya dari memperoleh kebaikan.
§ Sebagian orang juga ada yang berlebih-lebihan di dalam merapatkan shaf, yakni terus mendorongkan kakinya dengan kuat, padahal antara dia dan sebelahnya sudah saling merapat-kan kaki. Sehingga menjadikan orang yang berada di sebelahnya terganggu, tidak tenang dan tidak khusyu’ di dalam shalatnya. Sebaliknya, ada orang yang meremehkan masalah ini, sehingga membiarkan antara dia dengan orang di sebelahnya ada celah untuk syetan.
§ Ada sebagian juga yang bersemangat dalam menerapkan sunnah di dalam shalat, namun terkadang dengan cara terlarang yaitu mengganggu sesama muslim. Dan sudah maklum, bahwa menjauhi sesuatu yang terlarang lebih didahulukan daripada menjalankan yang mustahab (sunnah). Sebagai contoh adalah seseorang yang merenggangkan kedua tangannya ketika sujud, sehingga sikunya mendorong bagian dada orang yang di sampingnya, atau duduk tawaruk (tahiyat akhir) dalam shaf yang sempit dan membiarkan badannya mendorong kepada orang yang di sebelahnya sehingga mengganggunya.
§ Ada juga di antara mereka yang tatkala berdiri dalam shalat dan bersedekap, sikunya di dada orang lain yang ada di sampingnya, apalagi dalam kondisi shaf yang rapat, tempat yang sempit dan berdesakan. Seharusnya ia bersikap lemah-lembut terhadap sesama muslim, sebisa mungkin merubah posisi dengan menyelaraskan kedua tangan yang bersedekap terhadap orang yang berada di sampingnya.
§ Ada pula di antara jama’ah yang ketika mendapati imam sedang sujud atau duduk, ia tidak segera mengikuti apa yang sedang dilakukan imam tersebut. Akan tetapi, ia menunggu hingga imam berdiri untuk raka’at selanjutnya. Kesalahan ini sering sekali terjadi, padahal yang benar adalah hendaknya ia bersegera mengi-kuti imam masuk ke dalam jama’ah shalat, tanpa memandang apa yang sedang dilakukan imam. Mengenai hal ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda,"Apabila kalian mendatangi shalat sedangkan kami sedang sujud, maka ikutlah sujud, dan janganlah kalian memperhitungkannya dengan sesuatu.”Walaupun ia tidak mendapatkan raka’at tersebut (kecuali jika mendapatkan rukuk), namun ia mendapatkan pahala atas apa yang telah ia kerjakan itu.
§ Ada pula sebagian jama’ah yang ketika datang dan mendapati imam sedang rukuk, ia lalu berdehem, pura-pura batuk, atau berbicara dengan suara agak keras supaya imam mendengar lalu menunggunya (memanjangkan rukuknya). Hal ini jelas mengganggu orang-orang yang sedang shalat, dan membuat mereka tidak tenang (gelisah). Yang diperintahkan syari’at adalah hendaknya ia masuk shaf dalam keadaan tenang dan tidak terburu-buru, jika mendapatkan rukuk, maka alhamdulillah dan kalau ketinggalan, maka hendaknya ia menyempurnakan.
§ Di antara sebagian orang ada pula yang terburu-buru masuk shaf untuk mengejar rukuk, ia bertakbir dengan tujuan untuk rukuk, padahal seharusnya takbir itu adalah takbiratul ihram yang memang hanya dilakukan dalam posisi berdiri. Yang disyariatkan adalah hendaknya ia bertakbir dua kali, pertama takbiratul ihram dan ini merupakan rukun, sedang takbir kedua untuk rukuk yang dalam hal ini adalah mustahab (sunnah).
§ Ada juga orang yang bertakbir untuk mengejar rukuk, namun imam keburu mengangkat kepala. Maka berarti ia memulai rukuk ketika imam telah selesai mengerjakannya, dan ia menganggap, bahwa dirinya telah mendapatkan satu raka’at. Ini merupakan kesalahan dan ia tidak terhitung mendapatkan satu raka’at, sebab untuk mendapatkan satu raka’at seseorang harus mengucapkan minimalnya satu bacaan tasbih (subhana rabbiyal ‘adzim) secara tuma’ninah bersama rukuknya imam.
§ Terkadang pula kita mendapati orang (makmum) yang mengeraskan bacaan shalat dalam shalat sirriyah, sehingga mengganggu orang yang berada di sebelahnya. Selayaknya dalam shalat jama’ah, seseorang jangan mengangkat suaranya hingga terdengar orang lain, cukuplah bacaan itu terdengar oleh dirinya sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah seseorang yang membaca al-Fatihah dengan suara agak keras dalam shalat jahar setelah imam selesai membacanya. Sebaiknya, ia diam untuk mendengarkan bacaan imam atau membaca Al-Fatihah sekedar yang terdengar oleh dirinya sendiri. Juga orang yang melafalkan niat dengan suara yang terdengar orang lain, bahkan hal ini merupakan perkara bid’ah, karena niat itu tempatnya di hati dan Nabi serta para shahabat tidak pernah melafalkan niat.
§ Sebagian orang ada yang shalat di masjid dengan mengenakan pakaian kumal seadanya, pakaian kotor atau pakaian tidur. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat al-A’raf : 31. “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. 7:31)

Jika seseorang akan masuk ke rumah seorang pejabat, atau mau berangkat ke kantor, maka tentu ia akan memilih pakaian yang bagus bahkan yang paling bagus. Maka ketika akan ke masjid tentu lebih utama lagi. Sebagian orang memang ada yang bekerja di tempat-tempat yang mengharuskan pakaian mereka kotor (seperti bengkel, buruh, tani dan lain-lain, red), sehingga ketika shalat dengan baju kotor mereka beralasan karena kondisi pekerjaan yang mengharuskan demikian. Maka penulis menyarankan agar orang tersebut mengkhususkan satu pakaian yang bersih dan hanya dipakai waktu shalat saja.
§ Ada pula sebagian orang yang mendatangi masjid, padahal baru saja makan bawang merah atau bawang putih (dan yang semisalnya seperti petai, jengkol dan lain-lain, red), sehingga menebarkan aroma yang tidak sedap. Dalam sebuah hadits, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, maka janganlah sekali-kali mendekati masjid kami.”

Sama halnya dengan orang yang menghisap rokok yang juga menebarkan bau tidak sedap sebagaimana bawang dan yang semisalnya. Para ulama sepakat bahwa rokok itu merusak dan berbahaya, serta menghisapnya adalah haram pada setiap waktu, bukan ketika mau shalat saja.
§ Ada pula di antara sebagian jama’ah yang tidak perhatian terhadap lurusnya shaf dalam shalat. Maka kita melihat di antara mereka ada yang agak lebih maju atau lebih mundur di dalam shaf, dan tidak lurus dengan para jama’ah yang lain, padahal masjid-masjid sekarang pada umumnya telah membuat garis shaf atau tanda-tanda lain. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah memperingatkan hal itu dengan sabdanya, “Janganlah kalian berbeda (berselisih) di dalam shaf, sebab hati kalian akan menjadi berselisih juga.”Seharusnya setiap makmum berusaha meluruskan diri dengan melihat kanan kirinya, kemudian merapatkan pundak dan telapak kaki antara satu dengan yang lain.
KLASIFIKASI ORANG DI DALAM MELAKSANAKAN SHALAT

1. Orang yang selalu Menjaga Shalatnya.

Yaitu dengan menunaikannya secara baik dan benar serta berjama’ah di masjid. Ia segera memenuhi panggilan shalat ketika mendengar adzan, selalu berusaha berada di shaf terdepan di belakang imam. Di sela-sela menunggu imam, ia gunakan waktu untuk berdzikir, membaca Al-Qur’an hingga didirikan shalat. Orang yang melakukan ini akan mendapatkan pahala yang besar dan terbebas dari dua hal, yaitu dari api neraka dan dari nifaq, sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam at-Tirmidzi dari Anasz.

2. Orang yang Melakukan Shalat dengan Berjama’ah namun Sering atau selalu Terlambat.

Ia selalu ketinggalan takbiratul ihram, satu atau dua raka’at dan bahkan sering datang pada waktu tahiyat akhir. Bagi para salaf ketinggalan takbiratul ihram bukanlah masalah kecil, sehingga mereka sangat perhatian agar tidak ketinggalan di dalamnya.

3. Orang Melakukan Shalat Secara Berjama’ah karena Takut Orang Tua.

Mereka melakukan shalat dengan berjama’ah karena mencari ridha orang tuanya, sehingga tatkala orang tuanya tidak ada di rumah atau sedang bepergian, maka ia tidak lagi mau berjama’ah, lebih-lebih dalam shalat Shubuh.

4. Orang yang Tidak Pernah Shalat Berjama’ah di Masjid.

Ia mendatangi masjid hanya sekali dua kali saja atau ketika Hari Jum’at saja, mereka berdalil dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan, bahwa shalat berjama’ah itu bukan sesuatu yang wajib. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam tidak memberikan rukhshah kepada seorang yang buta untuk shalat di rumah, maka selayaknya seorang muslim mendahulukan ucapan Nabinya.

5. Orang Melakukan Shalat Secara Asal-asalan.

Yaitu tidak menyempurnakan rukuk, sujud serta rukun-rukun dan kewajiban yang lain. Dalam shalatnya ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali, bahkan mungkin hanya sekedar ikut-ikutan shalat dan gerak saja.

6. Orang yang Melakukan Shalat sesuai Syarat dan Rukunnya, namun Ia Tidak Menghayati dan Mengerti.

Ia melakukan shalat dengan raga-nya secara baik, akan tetapi pikirannya mengembara dalam urusan dunia, hatinya pun tidak tertuju pada apa yang sedang ia kerjakan saat itu.

Sumber, “Ashnafunnas Fish Shalah” Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnid.
 

JESUS AGAINST PAUL (Jesus Fulfilled The Law But Paul Broken The Law)


1.      Jesus fulfilled the Law
"Do not think that I came to destroy the Law or the Prophets. I did not come to destroy but to fulfill. (Matthew, 5:17) New King James Version
But Paul Delete the Law
Therefore we conclude that a man is justified by faith apart from the deeds of the law.  (Rome 3:28). 

2.      Jesus Lived the Law
"Whoever therefore breaks one of the least of these commandments, and teaches men so, shall be called least in the kingdom of heaven; but whoever does and teaches [them], he shall be called great in the kingdom of heaven. "For I say to you, that unless your righteousness exceeds [the righteousness] of the scribes and Pharisees, you will by no means enter the kingdom of heaven.  (Matthew 5:19-20)
But Paul was freed The Law 
But now we have been delivered from the law, having died to what we were held by, so that we should serve in the newness of the Spirit and not [in] the oldness of the letter.  (Rome 7:6)

3.      Jesus applied Law of God,
"You have heard that it was said to those of old, `You shall not murder, and whoever murders will be in danger of the judgment.'(Matthew 5:21)
But Paul excludes
[There is] therefore now no condemnation to those who are in Christ Jesus, who do not walk according to the flesh, but according to the Spirit. (Rome 8:1)

4.      Jesus worship God
Now behold, one came and said to Him, "Good Teacher, what good thing shall I do that I may have eternal life?" So He said to him, "Why do you call Me good? No one [is] good but One, [that is], God. But if you want to enter into life, keep the commandments." (Matthew 19:16-17) 
Jesus answered him, "The first of all the commandments [is]: `Hear, O Israel, the LORD our God, the LORD is one. (Mark12:29)
"And this is eternal life, that they may know You, the only true God, and Jesus Christ whom You have sent.(Yohanes 17:3)
 But Paul worships Jesus 
Nor height nor depth, nor any other created thing, shall be able to separate us from the love of God which is in Christ Jesus our Lord. (Roma 8:39) 

5.      Jesus only admitted he was the Apostle
"And I know that You always hear Me, but because of the people who are standing by I said [this], that they may believe that You sent Me." (John, 11:42)
But Paul thought God Jesus Christ
Grace to you and peace from God our Father and the Lord Jesus Christ (2Corinthians 1:3)

6.      Jesus was circumcised
And when eight days were completed for the circumcision of the Child, His name was called JESUS, the name given by the angel before He was conceived in the womb. (Luke, 2:21),
But Paul delete circumcision
But [he is] a Jew who [is one] inwardly; and circumcision [is that] of the heart, in the Spirit, not in the letter; whose praise [is] not from men but from God. (Rome 2:29)

Let See What Will Jesus Told Them ( Paul & Christian):

Then Jesus said to him, "Away with you, Satan! For it is written, `You shall worship the LORD your God, and Him only you shall serve.'" (Matthew, 4:10)
"Not everyone who says to Me, `Lord, Lord,' shall enter the kingdom of heaven, but he who does the will of My Father in heaven. "Many will say to Me in that day, `Lord, Lord, have we not prophesied in Your name, cast out demons in Your name, and done many wonders in Your name?' "And then I will declare to them, `I never knew you; depart from  Me, you who practice lawlessness!' (Matthew, 7:21-23)



 

Hukum Zinah di dalam Kitab Suci Hindu



Didalam kitab-kitab suci Hindu banyak sloka yang mengatur hal ini, mulai dari pengaturan istri keluar rumah, istri bepergian dengan orang lain, tentang pemerkosaan gadis-gadis, pemerkosaan bapak terhadap anak, pemerkosaan anak terhadap ibu dan wanita yang sejenisnya (wanita terlarang bagi seorang laki-laki,seperti istri Guru.dll). namun disini hanya dikutip beberapa sloka yang      menjadi inti dari Hukum Zinah Hindu. Jujur saya tidak memiliki kemampuan untuk menguraikannya, sudilah kiranya pembaca membantu menguraikan dari masing-masing sloka.

Kuwiwahaih kriya lopair
wedanadhyayanena ca
kulanya kulam tamyanti
brahmanati kramena ca.
(Veda Smerti, Manawa Dharmasastra III. 63)
Artinya:
Dengan berhubungan sex secara rendah diluar cara-cara perkawinan (brahmana wiwaha, prajapati wiwaha dan daiwa wiwaha), dengan mengabaikan upacara pawiwahan, dengan mengabaikan weda, dengan tingkah laku hina, tidak memperhatikan nasihat Sulinggih (Brahmana,orang-orang suci) maka keluarga-keluarga besar, kaya dan berpengaruh akan hancur berantakan.

Catur varnamsya sarva trahiyam prokta tu niskrtih,
agamyagamate ca iva suddhau candrayanam caret.
(Veda smerti. Parasara Dharmasastra X.1)
Artinya:
Aku telah menguraikan tentang upacara penebusan dosa bagi keempat golongan sosial; seorang laki-laki setelah menggauli seorang wanita yang dilarang untuknya harus melakukan penebusan dosa candrayanam.

Jarena janayed garbhe tyakte mrte patau,
tam tyajed apare rastre patitam papa karinim”
(Veda Smerti, Parasara Dharmasastra X.30)
 Artinya:
Wanita yang memperoleh kehamilan dengan kekasih gelapnya (tidak melalui upacara pawiwahan), atau setelah ditinggal suaminya atau selama ketidakhadiran suaminya di negeri jauh, harus diusir kesebuah kerajaan asing (keluar wilayah).
  
selengkapnya;
 

Islam kompatibel dgn Demokrasi & HAM ?


" Islam tidak pernah menyukai tendensi demokratik..." Snouck Hurgronje
" Sistim Demokrasi yg dominant di dunia tidak sesuai bagi bangsa2 di wilayah kami. Sistim pemilihan bebas tidak cocok bagi negara kami” ... Raja Saudi, Fahd

Hak Azasi Manusia (HAM) dan Islam
Mari kita baca Piagam PBB ttg HAM thn 1948 www.un.org dan bandingkan dgn hukum dan doktrin Islam.
  • Pasal 1 " Setiap manusia dilahirkan bebas dan sederajad dlm kehormatan dan hak2nya. Mereka diberikan logika & kesadaran dan harus memperlakukan masing2 dlm semangat persaudaraan."
  • Pasal 2 " Setiap orang berhak atas hak2 dan kebebasan yg dicantumkan dalam Piagam ini, tanpa pembedaan macam apapun, spt jenis bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kedudukan sosial, harta benda, kelahiran maupun status lainnya. "
  • Pasal 3 " Setiap orang memiliki hak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan diri."
  • Pasal 4 “ Tidak ada orang yg akan ditahan dlm perbudakan; perbudakan dan perdagangan budak dlm segala bentuknya akan dilarang. "
Sementara Dalam Islam
  1. Berdasarkan hukum Islam, wanita adalah dibawah lelaki; kesaksian mereka di pengadilan adalah setengah dari kesaksian lelaki; kelakuan wanita dibatasi secara ketat, spt mereka tidak dapat menikahi non-Muslim
  2. Non – Muslim yg hidup di negara2 Muslim memiliki status inferior (lebih rendah), mereka tidak boleh memberikan kesaksian melawan Muslim. Di Saudi, menurut tradisi Muhamad yg mengatakan "Dua agama tidak dapat eksis di negara Arab", non-Muslim dilarang mempraktekkan agama, membangun gereja dan memiliki injil dsb.
Kompensasi uang darah di Saudi, tergantung dari AGAMA si korban ! * 100.000 riyal jika korbannya adalah lelaki Muslim * 50.000 riyal jika korban adalah wanita Muslim * 50.000 riyal jika korban adalah lelaki Kristen * 25.000 riyal jika korban adalah wanita Kristen * 6.666 riyal jika korban adalah lelaki Hindu * 3.333 riyal jika korban adalah wanita Hindu

3. Atheis, di negara2 Muslim, tidak memiliki hak hidup. Mereka harus dibunuh. Ahli2 hukum Islam membagi dosa atas dosa besar dan dosa kecil. Dari 17 dosa, kekafiran adalah dosa paling besar, lebih jahat dari pembunuhan, pencurian, zinah dan lain-lain.
4. Perbudakan diakui dlm Quran. Muslim boleh senggama dgn budak2 perempuan mereka (Surah iv.3); mereka boleh mengambil wanita2 menikah kalau mereka budak. (Surah iv.2 ; Surah xvi.77). 
  • Pasal 5 “ Tidak ada orang yang akan dibiarkan menghadapi siksaan, atau hukuman kejam, tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan.”
SEMENTARA:
Lihatlah macam hukuman apa yang tersedia bagi mereka yang melanggar Hukum Islam/Syariah : amputasi, penyaliban, perajaman sampai mati, pencambukan, bahkan penjara dan denda akibat hal-hal yang di negara non-Muslim dianggap hal sepele, seperti minum bir, pegangan tangan, bermesraan (sampai batas tertentu) dimuka umum. Setiap Muslim akan bersikeras bahwa hukuman2 itu berasal dari Allah dan oleh karena itu TIDAK boleh dinilai menurut kriteria manusia. Tapi oleh ukuran manusia normal, hukuman-hukuman itu MEMANG BIADAB.
  • Pasal 6 “Siapapun memiliki hak utk diakui sebagai manusia didepan hukum.”
SEMENTARA:
  1. Dibawah Syariah, prinsip-prinsip keadilan, kebenaran dsb tidak memainkan peranan penting. Dlm
Islam misalnya, darah kafir harbi = halal, sementara kafir dzimmi harus pilih antar bayar pajak Jizyah, masuk Islam atau mati.
  1. Pembalasan terhadap pembunuhan direstui secara resmi dan uang darah (diya) juga dimungkinkan.
  2. Proses hukum dibawah Islam tidak dapat disebut adil, karena hal-hal berikut: 
non-Muslim tidak boleh bersaksi melawan Muslim. Contoh, jika seorang Muslim merampok rumah non-Muslim dan tidak ada saksi lain selain si non-Muslim, celakalah ia ! Kesaksian Muslimah hanya diijinkan dalam hal-hal istimewa dan diperlukan jumlah wanita yang dua kali lebih banyak dari jumlah pria.
  • Pasal 16 membahas hak-hak perkawinan lelaki dan perempuan
Seperti yang kami lihat dalam bab tentang Wanita, wanita dibawah Islam tidak memiliki hak-hak sama; mereka tidak bebas menikah sesuai dgn keinginan mereka, dan tidak memiliki hak cerai, atau hak waris yang sama.
  • Pasal 18 " Siapapun memiliki hak kemerdekaan berpikir dan menganut kepercayaan; hak ini mencakup kebebasan untuk mengganti* agama atau kepercayaannya dan kebebasan---baik secara seorang diri atau dgn orang lain, secara terbuka atau secara pribadi--utk memanifestasikan agama ataupun kepercayaannya dlm ajaran, praktek dan upacara …"
SEMENTARA : Dalam Islam, Muslim tidak memiliki hak untuk MURTAD. Ancaman hukuman (maksimal) : MATI !

Ini yg dikatakan komentator Islam ternama, Baydawi (w.1291): 
"Siapapun yg membelakangi agamanya, secara terbuka atau secara rahasia, BUNUH DIA dimanapun mereka kau temukan, spt kafir lainnya. Pisahkan dirimu dari dirinya secara sepenuhnya. Jangan menerima permohonannya dlm hal ini."
  • Pasal 19 " Siapapun berhak atas kemerdekaan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk menyuarakan pendapat tanpa gangguan dan mencari, menerima dan membagikan informasi dan ide lewat media apapun terlepas dari perbatasan Negara.”
Komentar:
  • Semakin Islami, semakin besar pelanggaran terhadap Pasal 18 dan 19 PBB. Di Iran, Pakistan dan Saudi, misalnya, hak2 kelompok minoritas Yahudi, Kristen, Baha’i, Ahmadiyah dan Syi'ah dilecehkan. 
Kesemua negara membenarkan tindakan mereka berdasarkan Syariah.
  • Pasal 23.1 "Setiap orang berhak untuk bekerja, bebas untuk memilih pegawai, berhak menciptakan kondisi nyaman dalam pekerjaannya dan terjamin terhadap pengangguran."
SEMENTARA:
  1. Wanita di bawah hukum Islam tidak bebas untuk memilih pekerjaan mereka. Ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dilarang, bahkan dalam negara-negara yang disebut Islam Liberal. Islam ortodoks melarang para wanita bekerja di luar rumah.
  2. Non-Muslim tidak bebas memilih pekerjaan dinegara Islam, non-Muslim tidak pernah akan diperkenankan membawahi Muslim. Seorang non-Muslim tidak akan pernah diijinkan menjadi presiden/kepala negara sebuah negara Islam.
Diskriminasi Antara Muslim dan Non–Muslim : [[1]]
  • Pasal 26 Hak Mengenyam Pendidikan
Sekali lagi, ada bidang-bidang sekolah tertentu yang tertutup bagi wanita.

KESIMPULAN
Jelas bahwa Muslim sadar bahwa Islam tidak lagi kompatibel dengan Deklarasi HAM 1948. Untuk itu mereka berkumpul di Paris tahun 1981 untuk merumuskan Deklarasi HAM ala Islam yang membuang segala kebebasan yang berkontradiksi dengan hukum Islam. Bahkan lebih buruk lagi adalah kenyataan bahwa dibawah tekanan negara-negara Islam, maka pada bulan November 1981, Deklarasi PBB merevisi Pasal 18*dengan menghapus kata "mengganti" agama menjadi "memiliki" agama (FI, Spring 1984, hal. 22).

 

FUNDAMENTALISME AGAMA, TERORISME DAN KONFLIK PERADABAN




A. Antararan
Fundamentalisme mulanya digunakan untuk penganut agama Kristen di AS yang muncul pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Awalnya digunakan untuk menunjuk sejumlah ajaran yang dipandang sebagai sistem religius dan intelektual yang bertumpu pada otoritas Alkitab. Disamping itu, fundamentalisme merupakan pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis harfiyah). Timbulnya fundamentalisme dianggap sebagai respon dan reaksi terhadap modernisme dan postmodernisme.
Reaksi ini bermula dari anggapan bahwa modernisme cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara elastis dan fleksibel agar sesuai dengan kemajuan zaman modern. Namun, kenyataannya penafsiran tersebut justeru membawa agama ke posisi terisolir dan teralienasi. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisasi secara besar-besaran, di mana peran agama akhirnya semakin cenderung terkesampingkan dan digantikan oleh peran sains dan teknologi modern
Menurut Amstrong, fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang muncul dan selalu ada hampir pada semua agama. Pada umumnya, kaum fundamentalisme tidak tertarik dengan jargon-jargon modernisme, seperti demokrasi, pluralisme, toleransi dan semacamnya. Fundamentalisme juga muncul pada Yahudi, Budha, Hindu, Khong Hu cu, Kristen maupun Islam yang dikembangkan para pengikutnya. Fundamentalisme umumnya selalu berbanding lurus dengan kekerasan. Kaum fundamentalisme menolak budaya liberal dan juga saling bunuh atas nama Tuhan dan agama bahkan berusaha untuk memasukkan hal sakral pada wilayah profan seperti urusan politik dan negara.  Adakah hubungan antara fundamentalisme dengan terorisme ? Mengapa terorisme muncul ?
B. Relasi Fundamentalisme dan Terorisme
Fundamentalisme adalah kata penuh arti dan muatan; tergantung siapa yang menginterpretasikannya. Namun, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai sikap [seseorang] yang berpegang teguh pada prinsip (par excellence prinsip agama) dan mempertahankan keyakinan itu. Menurut Encyclopaedia of the Social Sciences (1968), fundamentalisme adalah gerakan agresif dan konservatif di lingkungan gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat yang berkembang dalam dasawarsa sesudah Perang Dunia I. Gerakan ini tercetus terutama di lingkungan gereja baptist, desciple dan presbyterian yang memperoleh dukungan dari kalangan atau kelompok kependetaan lainnya dengan WJ. Bryan sebagai tokohnya.
Martin E. Marty mengemukakan sikap atau gerakan dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme apabila memenuhi empat prinsip. Pertama, fundamentalisme bersifat oppositionalism (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekulerisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama.Kedua, fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya. Ketiga, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Berkaitan dengan sikap dan gerakan fundamentalisme ini maka secara tidak langsung fundamentalisme merupakan suatu prakondisi terhadap munculnya terorisme. Sebelum membahas lebih dalam lagi tentang relasi antara fundamentalisme dengan terorisme, setidak-tidaknya perlu kita mengenal dan memahami arti dan makna terorisme tersebut. Istilah terorisme dan teroris dikenal marak oleh masyarakat dunia memang masih relatif baru, namun sebagai fenomena sosial terorisme bukanlah hal baru bahkan sudah lama muncul berabad-abad yang lalu.  Terorisme pertama kali dalam sejarah manusia dimulai pada sekitar 66-67 tahun sebelum Masehi bertepatan dengan peristiwa perjuangan kaum Zealot dalam agama Yahudi. Aksi ini bernama Sicarii yang dilakukan oleh kaum Yahudi untuk meneror orang-orang Roma yang menjajah Yahudi. Aksi ini dilakukan ketika terdapat kerumunan orang banyak di hari-hari libur Yerusalem. Kelompok fanatik yahudi dengan senjata yang  bernama sica  inilah melakukan teror terhadap lawan-lawannya.
Terorisme pada perkembangannya termanifestasi dalam beragam bentuk, motif agama, fanatisme beragama bahkan bermotif rasialisme, seperti kelompok Ku Kluk Klan di Amerika serikat yang melaukan pembunuhan besar-besar terhadap orang-orang kulit hitam yang dianggap berderajad rendah; separatisme seperti gerakan IRA di Irlandia utara, kelompok Macan Tamil di Sri Langka, Suku Kurdi di Irak dan Turki, ETA di spanyol dan gerakan Teror RMS di Indonesia; dan oposisi terhadap pemerintah seperti gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka. Pada perkembangan berikut, terorisme justru semakin menjadi fenomenal internasional melalui perkembangan teknologi dan dilakukan dengan lebih sistematis dan teroganisir. Terorisme sistematik dan terorganisir mulai muncul pada pertengahan abad 19 beriringan dengan berhasilnya modernisasi, sehingga para teroris juga memanfaatkan  jasa modernisme.
Terorisme  telah menjadi fenomena internasional dengan gerakan-gerakan yang tidak terikat oleh teritorial. Gerakan al-Qaedah misalnya merupakan gerakan yang semata-mata menentang peradaban global bukan penguasa ataupun negara tertentu, karena peradaban global yang dimaksud sangat bertentangan dengan nilai-nilai al-Qaedah disamping juga sebagai reaksi atas sikap dan tindakan AS sebagai polisi dunia yang tidak adil. Gerakan teroris, sudah mempergunakan senjata pemusnah massal bukan lagi senjata konvensional.
Terorisme muncul karena adanya persoalan-2 kompleks, kehadirannya  dipengaruhi oleh faktor-faktor  prakondisi dan pemercepatnya. Faktor-2 prakondisi terjadinya terorisme. Pertama, modernisasi sebagai faktor penting bagi munculnya problematika sosial ekonomi di dalam masyarakat termasuk juga munculnya teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, sehingga peluang kemudahan ini menyebabkan terorisme bisa muncul. Kedua, Lokasi geografis sebagai tempat-tempat yang memudahkan aksi terorisme berjalan lancar. Karena itu, di kota-kota lebih berpeluang menjadi sasaran terorisme daripada di desa. Hal ini karena di kota fasilitas yang mendukung aksi terorisme mudah di dapat. Ketiga,  sistem politik dan sikap pemerintah.
Sementara itu, yang termasuk faktor-faktor pemercepat terjadinya terorisme adalah; pertama,  adanya diskriminasi keadilan terhadap kelompok tertentu. Situasi seperti ini bisa melahirkan aksi-aksi untuk mendapatkan keadilan dengan jalan teror. Kedua, Tersumbatnya saluran partisipasi politik, Ketiga, Faktor-faktor sosial, budaya dan keempat, adanya fasilitas dan persenjantaan yang memadai. Disamping itu, terorisme muncul juga dikarenakan adanya motif-motif keagamaan  mempercepat  aksi terorisme oleh kelompok fundamentalisme keagamaan.
Fundamentalisme pada problem tertentu merupakan gerakan keagamaan yang menolak perubahan dan gerakannya cenderung regresif, sehingga wajar saja jika melahirkan kekerasan fisik. Akar-akar kekerasan fisik  yang pada ujungnya melahirkan terorisme sebagai akibat dari ekspresi para pengikut fundamentalisme ketika berhadapan dengan pengikut aliran keagamaan yang tidak sepaham dengan kaum fundamentalisme. Disamping itu, ekspresi fundamentalisme terkadang sangat menakutkan dengan melakukan bom bunuh diri, membajak pesawat dan menembaki  jamah-jamah keagaman tertentu. Bagaimana dengan Islam  seperti yang sering dituduhkan Amerika Serikat sebagai Agama teror, negara-negara Islam dianggap sebagai sarang terorisme ?
C. Fundamentalisme Islam vis avis Barat dan Konflik Peradaban
Secara epistemologis,  fundamentalisme Islam  menunjukkan empat hal: gerakan tajdid, reaksi pada kaum modernis, reaksi pada westernisasi, dan keyakinan terhadap Islam sebagai ideologi alternatif: Gerakan tajdid biasanya dihubungkan dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa pada permulaan setiap abad Allah membangkitkan seorang yang akan memperbarui agama Islam. Walaupun tidak disepakati perincian mujaddid (pembaru) setiap zaman —karena juga tidak disepakati apa yang disebut tajdid— Ibnu Taimiyah sering disebut sebagai mujaddid yang pertamakali menentang kebekuan pemikiran Islam. Mujaddid lain yang patut disebut adalah Jamal al Din Al Afghani (1838—1887), pengelana yang tak kenal lelah secara intelektual geografis. Ia berkunjung ke banyak negara Asia, Eropa dan Afrika. Gerakannya bersifat politik, moral, intelektual, dan sosial. Ia membangkitkan semangat umat Islam melawan kolonialisme dan kekuasaan absolut, mengajak kembali pada ajaran Islam yang asli.
Dalam konteks globalisasi pada milenium ketiga ini, barangkali pengertian yang paling mendekati kebenaran obyektif tentang fundamentalisme Islam adalah definisi Fazlur Rahman. Secara umum, kata Rahman, sekarang fundamentalisme diartikan sebagai gerakan yang menentang Westernisasi dan sekularisasi di Dunia Islam. Fundamentalisme Islam, demikian Fazlur Rahman, adalah gerakan yang menampilkan Islam sebagai sistem alternatif, sebagai kekuatan pembebas (liberating force), yang membebaskan pemikiran ummat baik dari berabad-abad tradisi maupun dari dominasi intelektual dan spiritual Barat. Karena merupakan gerakan pembebasan, maka fundamentalisme sangat dekat dengan perjuangan politik.
Sebagai perlawanan terhadap liberalisasi Islam pada tangan kaum moderenis, muncul neofundamentalisme. Fazlur Rahman, dengan demikian, menyebutkan empat kelompok pemikiran Islam — sekularis (Kemal Pasha, Ali Abd ar Raziq), tradisionalis (Wahabiah dan Sa afiah), moderenis (Ahmad Khan, Amir Ali), dan neo-fundamentalis. Karena neo-fundamentalis adalah sintesis dari tradisionalisme (fundamentalisme lama) dengan moderenisme, ia merupakan a modern, richer version of fundamentalism. Neo-fundamentalisme berusaha menemukan kembali makna risalah Islamiah tanpa penyimpangan dan distorsi historis dan tanpa dibebani tradisi selipan, bukan saja untuk kepentingan umat Islam tetapi juga sebagai tantangan terhadap dunia pada umumnya dan Barat pada khususnya.
Sekarang, fundamentalisme Islam diartikan sebagai gerakan yang menentang Westernisasi di dunia Islam. Setelah Perang Dunia II, banyak negara Islam rnemperoleh kemerdekaannya. Dalam perjuangan kemerdekaan, tema-tema keislaman sering digunakan para pemimpin politik untuk memobilisasikan rakyat melawan kekuatan imperialisme. Tetapi, pada pasca kemerdekaan, pemimpin-pemimpin politik ini —yang umumnya dibesarkan dalam tradisi pendidikan Barat— secara pelan tapi pasti menyingkirkan Islam dan memasukkan institusiinstitusi Barat. Mereka melihat model pembangunan Barat dapat diterapkan pada masyarakat Muslimin. Tanpa melihat konteks kultural dan kendala struktural, Westernisasi diterapkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk beberapa saat, rakyat pun dapat dihibur.dengan janji kemakmuran seperti yang terdapat di negara-negara industri. Untuk selanjutnya, rakyat di negara-negara Islam menemukan bahwa westernisasi lebih banyak menabur dosa ketimbang jasa. Negara-negara muslim tetap saja terbelakang, dan orang melihat Barat telah gagal, bukan saja di Timur tetapi di tanah airnya sendiri. Kaum muslimin mulai menoleh lagi kepada Islam. Mereka kecewa dengan Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Pragmatisme dan isme-isme lain yang sekular. Why not try Islam?
Mengapa tidak mencoba ajaran Islam? Sekarang, fundamentalisme adalah gerakan yang menampilkan Islam sebagai sistem alternatif, dengan kembali mengutip Fazlur Rahman, sebagai a liberating force, freeing the mind both from centuries of tradition and from the inlellectual and spiritual domination of the West. Dan percobaan ini kelihatannya telah berhasil di Iran: Sebuah negeri yang telah dipuji sebagai avant-guarde moderenisasi digantikan oleh sistem Islam. Tidak mengherankan bahwa setelah revolusi Iran, arus fundamentalisme melanda dunia Islam.
Mengingat rentangan makna tersebut, adalah tidak adil untuk membuat suatu telaah tentang fundamentalisme Islam tanpa menyebut secara spesifik apa yang dimaksud dengan istilah itu. Dalam artikel ini, saya; akan menggunakan fundamentalisme Islam untuk merujuk pengertian yang keempat. Di dalamnya terkandung reaksi terhadap moderenisme dalam pemikiran keislaman, sikap kritis terhadap peradaban Barat, dan dalam beberapa hal juga karakteristik gerakan pembaharuan. Saya melihat fundamentalisme dalam pengertian inilah yang sekarang menjadi fenomen sosial dominan di negara-negara muslim.
Sementara itu, fundamentalisme Islam dalam pengertian Barat adalah suatu fenomena politik atau gerakan politik Islam, yang dianggap "berbahaya", memusuhi kapitalisme dan sekularisme. Sejak komunisme ambruk dan delegitimasi, fundamentalisme Islam menjadi isu dan komoditi politik yang sangat menguat, terutama di Dunia Barat.  Menjelang akhir abad ini,  Francis Fukuyama melihat bahwa fundamentalisme Islam muncul dan menjadi bahaya terhadap Barat. Mengapa? Fukuyama menjawab: karena masyarakat Muslim merasa sangat terancam dengan nilai-nilai Barat yang diimpor ke Dunia Muslim dan ada perasaan betapa martabat Muslim terluka begitu dalam oleh kegagalannya untuk mempertahankan koherensi masyarakat tradisional santri dan keberhasilan teknik dan nilai Barat yang merasuk ke Dunia Islam, yang membuat ummat Islam mengalami alienasi, anomie, minder dan kecil hati.
Kenyataan yang menyakitkan itu, diperparah lagi oleh cara dan model media Barat dalam melakukan pembunuhan karakter (character assasination) terhadap Islam. Akbar S Ahmed menunjukkan bagaimana media massa Barat telah sukses dalam membangun citra negatif Islam, sehingga masyarakat Barat menolak nilai Islam seperti toleransi, egalitarianisme dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, menolak universalisme Islam.
Dalam perkembangan lain, ada kesadaran ummat bahwa globalisasi adalah "politik" imperialis baru dari Barat yang diwarnai semangat phobi-Islam. Dan meminjam Hannah Arendt, semua "politik" adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan, dimana the ultimate kind of power is violence. Di sini kekuasaan dan kekerasan merupakan suatu keniscayaan. Dalam situasi dihadapkan pada kapitalisme global yang meluluhlantakkan Dunia Islam, maka sandaran agama merupakan pilihan terakhir ummat untuk bertahan, berontak, survival, apapun risiko dan konsekuensi yang akan terjadi.
Itulah sebabnya, dalam menyikapi fenomena kaum fundamentalis Islam, the last frontiers itu, para intelektual dan elite masyarakat seyogyanya tidak hanya berada di menara gading dan tidak melihat fundamentalisme agama dengan spektrum sempit dan myopik, tidak perlu bersikap phobi. Sebab suatu perspektif yang multi dimensi akan membuka mata, pikiran dan hati kita tentang apa, bagaimana dan mengapa isu fundamentalisme Islam itu relatif mudah "go international dan go public". Ada tidaknya fundamentalisme Islam, tak terlepas dari kepentingan Barat dan kita sendiri, serta untuk sebagian tergantung dari bagaimana kita mengelola konflik-konflik dan benturan yang terjadi.

D. Islam Versus Barat : Konflik peradaban
Islam di Dunia Ketiga mengidap patologi sosial-ekonomi dan keterbelakangan teknologi, sehingga dalam benturan peradaban (the clash of civilization-meminjam diskursus Samuel Huntington) dengan peradaan Barat, Islam relatif tertinggal dan terpental. Namun nilai-nilai, norma, dan spirit Islam di dalam hati dan pikiran ummat justru semakin menguat pada saat abad ke-21 tiba, abad yang diramalkan Andre Malraux dan Alvin Toffler sebagai abad agama-agama. Secara ideologis, Islam kini vis a vis kapitalisme global. Kekalahan demi kekalahan, secara teknokrasi dan teknologi,tidak membuat ummat menyerah, namun justru di tengah rasa sakit, Islam menggeliat bangkit. Anwar Ibrahim menyebut kebangkitan Islam di Asia sebagai "the new face of Islam in Southeast Asia", wajah baru Islam di Asia Tenggara.
Islam ditantang untuk memperbarui diri dalam mengejar modernisasi, namun pada saat yang sama ia dituntut untuk tetap mempertahankan relevansi nilai-nilai dan maknanya terhadap zaman yang carut-marut dan centang-perenang di dunia yang tunggang langgang (runaway world-meminjam wacana Anthony Giddens). Dan disitulah letak daya pukau Islam sebagai agama yang mampu memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan duniawi yang dihadapi ummatnya. Tinggal bagaimana interpretasi dan kreatifitas kita mendayagunakan Islam dalam menjaga keselamatan bangsa dan negara yang pluralistik dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Dalam hal ini, idiom "think globally act locally" memiliki relevansi bagi kaum muslim dalam merespon globalisme atau imperialisme baru yang menyingkirkan Islam sebagai sistem nilai komplementer atau bahkan alternatif, guna menyelamatkan ummat manusia dan bumi dari krisis dan kehancuran. Kapitalisme yang mengalami metamorfose sebagai globalisme (imperialisme baru) telah memakan korban sosial yang amat besar, suatu meta kapital dari piramida korban manusia. Korban-korban itu adalah rakyat di negara-negara berkembang dan terbelakang yang menjadi wilayah dominasi ekonomi kapitalisme internasional melalui ekspansi perdagangan barang dan jasa , yang memperlebar jurang kaya-miskin antara negara-negara maju dan Dunia Ketiga. Keadaan ini diperhebat lagi dengan krisis ekologi, HAM dan kesenjangan ekonomi yang menekan berat masyarakat bawah.
Di dalam situasi terhimpit dan terdesak, ummat Islam secara kultural dan religius pada akhirnya menyandarkan diri pada fundamentalisme keagamaan untuk melawan situasi demikian. Perasaan kalah, anomie, anomali, alienasi dan kesia-siaan mendorong para pemimpin Islam untuk membawa komunitasnya pada gerakan radikal atas nama agama untuk menegakkan martabat manusia (ummat) yang tertindas dan terhina.
Dewasa ini di kancah global telah berhadap-hadapan antara kapitalisme dan Islam, baik sebagai sistem nilai maupun ideologi dalam menstrukturkan artikulasi dan tindakan (aksi). Tatkala Anthony Giddens melontarkan "Jalan Ketiga", Dunia Islam menoleh kembali dan bahkan merasa lebih percaya (yakin) bahwa alternatif menghadapi keganasan kapitalisme yang berwatak dehumanisasi adalah Islam, bukan komunisme, yang di Indonesia mengingatkan orang pada PKI. Sudah barang tentu Islam mengapresiasi humanisme universal, gagasan dan nilai-nilai sosial demokrat yang baik dan relevan. Karena itu, Islam yang orthodoks atau purifikatif dengan sendirinya tidak bisa menang-menangan semaunya. Akan tetapi dialektika antara kapitalisme, sosialisme dan Islam dalam model tesa, antitesa dan sintesa, yang kelak menentukan bagaimana hasilnya. Semuanya masih berjalan dalam proses sejarah, in the makingdi tingkat global maupun lokal.
Barat selalu memandang bila ada umat Islam yang commit dan menguasai suatu institusi negara tapi tidak tunduk pada Barat, maka label fundamentalis, radikal, anti pluralisme dan sebagainya akan dengan mudah ditempelkan oleh Barat. Tidak bisa dipungkiri sebagian negara Barat memandang negatif pada dunia Islam selama masih lekat dengan Islamnya. Selama umat Islam tidak mau menjadikan Barat sebagai "taghut"nya, maka apapun yang dilakukan bisa diganjal. Bukanlah hal yang aneh, ketika negeri Muslim ada yang mau mempelajari nuklir, misalnya, kecurigaan negara Barat muncul dan mereka berusaha untuk mempersulit dengan berbagai cara. Kegeraman Perdana Menteri Pakistan Nawaz Syarif cukup beralasan dengan sikap Barat ini, karena ketika ada kemungkinan pembelian ahli nuklir Sovyet oleh negara Timur Tengah, Barat meributkannya. Namun, Barat tidak pernah meributkan bom Yahudi (nuklirnya Israel), atau bom Hindu (nuklirnya India).
Inilah kepentingan Barat pada umat Islam yang commit agar tidak menjadi bahaya yang mengancamnya. Akhirnya, berita dan informasi yang sesuai dengan kepentingannya dikeluarkan untuk menahan umat Islam dan melanggengkan kepentingan Barat. Memang benar apa yang dikatakan Edward W. Said, intelektual Palestina yang beragama Kristen, bahwa pemberitaan yang disajikan Barat dan Amerika pada umat Islam disajikan sesuai dengan kepentingannya. Noam Chomsky, seorang Yahudi "pembelot," lebih tegas mengatakan bahwa penggunaan istilah, seperti "terorisme," disesuaikan dengan kepentingan Barat, sehingga jika menyebut istilah terorisme -juga fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme, anti pluralisme dan militanisme- maka yang terbayang adalah kelompok seperti di Iran, Sudan, HAMAS dan gerakan Islam lainnya.
Fundamentalisme memang tak sempat menjadi istilah sentral, kecuali "terorisme". Kini Amerika Serikat berupaya keras meyakinkan semua pihak untuk melancarkan perang melawan terorisme. Sayangnya pelaku teror sulit diungkap, dan agaknya pengejaran terhadap Osama bin Laden pun lebih didasari praduga yang kuat. Pengejaran terhadap Osama dan serbuan ke Afghanistan merupakan pekerjaan yang tak ringan bagi Amerika dalam upaya "memerangi terorisme". Bahkan, langkah AS ini bisa amat fatal akibatnya, sebab negara adidaya ini pun ternyata melakukan "pendekatan teror" dalam skala besar sebagai balasan teror yang diterimanya.
Idealnya, negara yang disebuat sebagai "Polisi Dunia" ini secepatnya berkaca diri dan segera melakukan upaya-upaya yang lebih adil bagi "tatanan kehidupan dunia" (world order). Bukan melakukan serangan yang membabi buta yang hanya sekadar mengejar seorang teroris yang dicurigai. Pada akhirnya memang, dalam konteks ini, fundamentalisme akan menjadi istilah yang tak kalah populernya dengan terorisme. Sebab, sudah menjadi wacana yang berkembang, terutama di kalangan ilmuwan sosial Barat, bahwa fundamentalisme berpotensi kuat sebagai "akar" dari terorisme. Fundamentalisme memunculkan gerakan-gerakan radikal, yang dinilai berlawanan dengan ajaran fundamental mereka. Sayangnya, yang kerap dituduh demikian adalah kelompok-kelompok Islam. Islam kerap dianggap sebagai agama teror. Sebuah pandangan, yang tentu saja, salah berat.
Tindakan-tindakan teror yang sengaja dimunculkan oleh kalangan yang mengaku "demi menegakkan agama" (atau atas nama "kebenaran" apa pun) biasanya tak lepas dari aksi-aksi yang muncul di sekitarnya. Aksi memunculkan reaksi. Teror yang terjadi di AS belakangan ini belum terbukti dimotivasi oleh, setidaknya menurut klaim pelakunya, motivasi agama. Tapi, satu hal yang pasti, ia muncul karena akumulasi kekecewaan atas pelbagai kebijakan (aksi) AS yang, dalam banyak hal, dinilai tidak adil dan senantiasa menerapkan standar ganda. Atau, bahkan, mungkin teror di AS merupakan konspirasi sama sekali untuk mengadu AS dan Islam. Wallahualam. 

Oleh :
Suhermanto Ja’far

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faisal wibowo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger